DOSEN PEMBIMBING : MIFTAH
ULYA, MA
NAMA :
HAYATUN SAKINAH
MATA KULIAH :
PSIKOLOGI AGAMA
SEMESTER :
IV A
PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA
ANAK DAN REMAJA
ANAK DAN REMAJA
A. Perkembangan Agama pada anak – anak
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agamanya
anak – anak itu melalui beberapa fase ( tingkatan ) . Dalam bukunya The
Development of religious on Children ia mengatakan bahwa perkembangan
agama pada anak – anak itu melalului tiga tingkatan yaitu :
1. The Fairy Tale Stage ( Tingkatan
Dongeng )
Tingkatan
ini dimulai pada anak yang berusia 3 – 6 tahun . Pada tingkatan ini konsep
mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat
perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektualnya . Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi
kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agamapun anak masih menggunakan
konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng – dongeng yang kurang masuk akal.
2. The Realistic Stage ( Tingkatan
Kenyataan )
Tingkatan
ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga sampai ke usia ( masa usia)
adolesense. Pada masa ini ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep –
konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis) . Konsep ini timbul melalui
lembaga – lembaga keagamaan dan pengajaran dari orang dewasa lainnya. Pada masa
ini ide keagamaan pada anak didasarkan atas dorongan emosional , hingga mereka
dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis . Berdasarkan hal itu maka pada
masa ini anak – anak tertarik dan senang kepada lembaga keagamaan yang mereka
lihat yang dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka . Segala bentuk
tindak (amal ) keagamanaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.
3. The Individual Stage ( Tingkat
Individu )
Pada
tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan
dengan perkembangan usia mereka . Konsep keagamaan yang individalistis ini
terbagi atas tiga golongan , yaitu :
a. Konsep ke-Tuhanan yang konvemsional
dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut
disebabkan oleh pengaruh luar.
b. Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni
yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal ( perorangan ).
c. Konsep ke-Tuhanan yang bersifat
humanistic. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati
ajaran agama. Perubahan ini setiap ktingkatan dipengaruhi oleh factor
intern yaitu perkembangan usia dan factor ekstern berupa pengaruh luar
yang di alaminya.
B. Sifat – sifat agama pada anak –
anak
Anak-anak sangat mudah untuk
menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya
manfaat ajaran tersebut. . Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada
diri anak dapat dibagi atas :
1. Unreflektive (tidak mendalam )
Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan
pada diri anak 73 % mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dalam
suatu sekolah bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klaus memotong
jenggotnya untuk membuat bantal.
Dengan demikian anggapan mereka terhadap ajaran agama dapat
saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak
begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan
yang kadang – kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian pada beberapa orang
anak terdapat mereka yang memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang pendapat
yang mereka terima dari orang lain. Penelitian Praff mengemukakan dua contoh tentang
hal itu :
a. Suatu peristiwa seorang anak
mendapat keterangan dari ayahnya bahwa Tuhan selalu mengabulkan permintaan
hambanya . Kebetulan seorang anak didepan sebuah took mainan. Sang anak
tertarik pada sebuah topi berbentuk kerucut. Sekembalinya kerumah ia langsung
berdoa kepada Tuhan untuk apa yang diinginkannya itu. Karena hal itu
diketahui oleh ibunya, maka ia ditegur. Ibunya berkata bahwa dalam berdoa tak
boleh seseorang memaksakan Tuhan untuk mengabulkan barang yang diinginkannya
itu. Mendengar hal tersebut anak tadi langsung mengemukakan pertanyaan : “
mengapa ?
b. Seorang anak perempuan diberitahukan
tentang doa yang menggerakkan sebuah gunung. Berdasarkan pengetahuan tersebut
maka pada suatu kesempatan anak itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan
memindahkan gunung – gunung yang ada didaerah Washington ke laut. Karena
keinginannya itu tidak terwujud maka semenjak itu ia tak mau berdoa lagi.
Dua contoh idatas menunjukkan , bahwa anak itu sudah
menunjukkan pemikiran yang kritis , walaupun bersifat sederhana , menurut
penelitian pikiran kritis baru timbul pada usia 12 tahun sejalan dengan
pertumbuhan moral. Di usia tersebut , bahkan anak kurang cerdaspun menunjukkan
pemikiran yang korektif . Di sini menunjukkan bahwa anak meragukan kebenaran
ajaran agama pada aspek – aspek yang bersifat kongkret.
2. Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun
pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan
pengalamannya. Apabila keasadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak,
maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat
pula egoisnya.
Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak
telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep kegamaan yang
mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang mendapat
kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak – kanakan
(Childish) dan memiliki sifat ego yang rendah . Hal yang demikian menganggu
pertumbuhan keagamaanya.
3. Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ke-Tuhanan pada anak berasal
dari hasil pengalamannya di kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu
kenyataan bahwa konsep ke-Tuhananmereka tampak jelas menggambarkan aspek –
aspek kemanusiaan.
Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka
menganggap perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari
dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat
yang gelap.
Surga terletak dilangit dan untuk tempat yang baik. Anak
menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung kerumah –
rumah mereka sebagai layaknya orang megintai. Pada anak yang berusia 6 tahun
menurut penelitian Praff pandangan anak tentang Tuhan adalah sebagai berikut :
Tuhan mempunyai wajah seperti manusia, telinganya lebar, dan
besar. Tuhan tidak makan tetapi hanya minum embun.
Konsep ke-Tuhanan yang demikian itu mereka bentuk sendiri
berdasarkan fantasi masing – masing.
4.
Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada
anak – anak sebagian besar tumbuh mula – mula secara verbal ( ucapan). Mereka
menghafal secara verbal kalimat – kalimat keagamaan dan selain itu pula dari
amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang
diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu kedua hal tersebut kurang ada
hubungannya dengan perkembangan agama pada anak dimasa selanjutnya tetapi
menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnnya terhadap kehidupan agama
anak itu di usia dewasanya. Bukti menunjukkan bahwa banyak orang dewasanya.
Bukti menunjukkan bahwa banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran
dan praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa kanak – kanak mereka .
Sebaliknya belajar agama di usia dewasa banyak mengalami
kesukaran. Latihan – latihan bersifat verbalis dan upacara keagamaan yang
bersifat ritualis ( praktek ) merupakan hal yang berarti dan merupakan slah
satu cirri dari tingkat perkembangan gama pada anak- anak.
5.
Imitatif
Dalam kehidupan sehari – hari dapat kita saksikan bahwa
tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak – anak pada dasarnya diperoleh dari
meniru .Berdoa dan sholat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat
perbuatan dilingkungan , baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang
intensif. Para ahli jiwa menganggap bahwa dalam segala hal , anak merupakan
peniru yang ulung . Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam
pendidikan keagamaan pada anak.
Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap sejumlah
mahasiswa disalah stau perguruan tinggi menunjukkan, bahwa anak yang tidak
mendapat pendidikan agama dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan menjadi
pemilik kematangan agama yang kekal . Walaupun anak mendapat ajaran agama tidak
semata – mata berdasarkan yang mereka peroleh sejak kecil namun pendidikan
keagamaan (religious paedagogis) sangat mempengaruhi terwujudnya tingkah laku
keagamaan ( religious behavior ) melalui sifat meniru itu.
6. Rasa Heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan
yang terakhir pada anak . Berbeda dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa
, maka rasa kagum pada anak inji belum bersifat kritis dan kreativ. Mereke
hanya kagum terhadap keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama
dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru
(new experience) . Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita – cerita
yang menimbulkan rasa takjub.
C. Perkembangan jiwa keagamaan
pada remaja
1. Perkembangan rasa agama
Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja
menduduki tahap progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa remaja
mencangkup masa : Juvenilitas ( adolescantium ) , pubertas dan nubilitas.
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya,
maka agama pada para remaja turut dipengaruhi perkebangan itu. Maksdunya
penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak
pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut .
Perkembangan agama para para remaja ditandai
oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu
antara lain menurut W. Starbuck adalah :
a. Pertumbuhan
pikiran dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari
masa kanak – kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis
terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama merekapun sudah
tertarik kepada masalah kebudayaan , sosial, ekonomi, dan norma – norma
kehidupan lainnya.
b. Perkembangan
perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja.
Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati
perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan Religius akan
cenderung mendorong didrinya lebih dekat kearah hidup yang religius pula.
Sebaliknya bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama
akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu
dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok kearah tindakan seksual yang
negative.
c. Pertimbangan
sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya
pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara
pertimbangan moral dan material . Remaja sangat bingung menetukan pilihan itu.
Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi , maka para
remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis . Hasil penyelidikan
d. Perkembangan
moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa
berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada
para remaja juga mencangkupi :
1)
Self –directive , taat
terhadap agama atau moral mengadakan kritik .
2)
Adaptive, mengikuti situasi
lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3)
Submissive, merasakan adanya
keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
4)
Unadjusted, belum meyakini akan
kebenaran ajaran agama dan moral.
5)
Deviant, menolak dasar dan hukum
keagamaan serta tatanan moral masyarakat .
e. Sikap
dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah kegamaan boleh
dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta
lingkungan agama yang mempengaruhi mereka ( besar kecil minatnya ).
f. Ibadah
Pandangan para remaja terhadap ajaran agama masalah doa
sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukkan :
a) 148 siswi dinyatakan bahwa 20 orang
di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman keagamaan sedangkan sisanya
( 128 ) mempunyai pengalaman keagamaan yang 68 diantaranya secara alamiah (
tidak melalui pengajaran resmi )
b) 31 orang di antara yang mendapat
pengalamana keagamaan melalui proses alami itu mengungkapkan adanya perhatian
mereka terhadap keajaiban tyang menakjubkan di balik keindahan alam yang mereka
nikmati.
Selanjutnya
mengenai pandangan mereka tentang ibadah diungkapkan sebagai berikut :
a) 42 % tak pernah mengerjakan ibadah
b) 33 % mengatakan mereka sembahyang
karena mereka yakin Tuhan mendengar dan akan mengabulkan doa mereka.
c) 27 % beranggapan bahwa sembahyang
dapat dapat menolong mereka merendahkan kesusahan yang mereka derita.
d) 18 % mengatakan bahwa sembahyang
menyebabkan mereka menjadi senang sesudah menunaikannya.
e) 11 % mengatakan bahwa
sembahyang yang mengingatkan tanggung jawab dan tuntutan sebagai aggota
masyarakat.
f) 4 % mengatakan bahwa sembahyang
kebiasaan yang mengandung arti yang penting .
Jadi hanya 17 % mengatakan bahwa sembahyang bermanfaat untuk
berkomunikasi dengan Tuhan , sedangkan 26 % di antaranya menganggap bahwa
sembahyang hanyalah merupakan media unutuk bermeditasi.
D. Konflik dan keraguan
Dari
Sampel yang diambil W. Starbuck terhadap mahasiswa Middleburg College ,
tersimpul bahwa : dari remaja usia 11 – 26 tahun terhadap : 53 % dari 142
mahasiswa yang mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka
terima, cara penerapan , keadaan lembaga keagamaan dan para pemuka agama. Hal
yang serupa ketika diteliti terhadap 95 mahasiswa, maka 75 % di antaranya
mengalami kasus yang serupa .
Dari analisis hasil penelitiannya
W. Starbuck menemukan penyebab timbulnya keraguan itu antara lain adalah :
1.
Kepribadian yang menyangkut tafsir
dan jenis kelamin
a.
Bagi seseorang yang meiliki kepribadian introvert , maka
kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir
akan sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang . Misalnya : seseorang
memohon penyembuhan terhadap keluarganya yang sakit. Jika doanya ternyata tidak
terkabul akan timbullah keraguan akan kebenaran sifat ke-Tuhanan tersebut. Hal
yang demikian itu akan lebih membekas . Pada diri remaja yang sebelumnya adalah
penganut agama yang taat.
b.
Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan pula faktor
yang menentukan dalam keraguan agama. Wnita yang lebih cepat matang dalam
perkembangannya lebih cepat menunjukkan keraguan daripada remaja pria. Tetapi
sebaliknya dalam kualitas dan kuantitas keraguan remaja putri lebih kecil
jumlahnya . Disamping itu jeraguan wanita lebih bersifat alami sedangkan pria
bersifat intelek .
2.
Kesalahan Organisasi Keagamaan dan
Pemuka Agama
Ada berbagai lembaga keagamaan , organisasi dan aliran
kegamaan yang kadang – kadang menimbulkan kesan adanya pertetntang dalam
ajarannya. Pengaruh ini dapart menjadi penyebab timbulnya keraguan pada remaja.
Demikian pula tindak – tanduk pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti
tuntutan agama.
3. Pernyataan Kebutuhan Manusia
Manusia memiliki sifat konservatis (
senang dengan yang sudah ada ) dan dorongan curiosity (dorongan inngin tahu ) .Berdasarkan
faktor bwaan ini maka keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal
itu meruapakan pernyataan dari kebutuhan manusia normal. Ia mendorong
mepelajari pelajaran agama dan kalau ada perbedaan – perbedaan yang kurang
sejalan dengan apa yang telah dimilikinya akan timbul keraguan .
4. Kebiasaan
Seseorang yang terbiasa akan suatu
tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru
diterimanya atau dilihatnya. Misalnya seorang remaja protestan akan merasa ragu
melihat situasi dan ajaran Islam yang sangat berbeda dengan apanya yang biasa
diterimanya .
5. Pendidikan
Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat
pendidikan yang dimilikinya akan membawa pengaruh sikap nya terhadap ajaran
agama . Remaja yang terpelajar akan menjadi lebih kritis terhadap ajaran
agamanya terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis . Apalagi
jika mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya
itu secara lebih rasionalnya.
6.
Percampuran antar Agama dan Listik
Para remaja merasa ragu untuk
menentukan antara unsure agama dengan mistik. Sejalan dengan perkembangan ,asyarakat
kadang – antara hubungan dengan kadang – kadang secara tak disadari tindak
kegamaan yang mereka lakukan ditopangi oleh praktek kebtinan dan mistik .
Penyatuan unsur ini merupakan dilemma yang kabur dilemma yang kabar bagi para
remaja .
Selanjutnya secara indidvidu sering
pula terjadi keraguan yang disebabkan beberapa hal anatar lain mengenai :
a. Kepercayaan menyangkut malah
ke-Tuhanan dan implikasi terutama ( dalam agama Kristen ) status ke – Tuhanan
sebagai trinitas.
b.
Tempat suci , menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan
tempat – tempat suci agama .
c.
Alat perlengkapan keagamaan seperti fungsi salib , (dalam
Kristen ), fungsi mukena ( dalam Islam ).
d.
Fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan
e.
Pemuka agama , biarawan, biarawati.
f.
perbedaan aliran dalam keagamaan , Sekte ( dalam agama
Kristen ) atau mahzab ( dalam Islam ).
Keragu - raguan yang demikian akan menjurus kearah munculnya
konflik dalam diri para remaja sehingga mereka dihadapkan kepada pemilihan
antara mana yang baik, dan mana yang buruk , serta antara yang benar dan yang
salah.
Konflik ada beberapa macam
diantaranya :
a.
Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu
b.
Konflik yang terjadi antar pemilihan satu diantara dua macam
agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan .
c.
Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama
atau sekularisme .
d.
Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu
dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi.
SUMBER : Jalaluddin.Psikologi agama.PT
RajaGarfindo Persada: Jakarta.1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar