Jumat, 22 Maret 2019

PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK DAN REMAJA PSIKOLOGI AGAMA


DOSEN PEMBIMBING      : MIFTAH ULYA, MA
NAMA                                   : HAYATUN SAKINAH
MATA KULIAH                  : PSIKOLOGI AGAMA
SEMESTER                          : IV A

PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA
ANAK DAN REMAJA
A. Perkembangan Agama pada anak – anak
Menurut penelitian Ernest Harms  perkembangan agamanya anak – anak itu melalui beberapa fase ( tingkatan ) . Dalam bukunya The Development of religious on Children  ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak – anak itu melalului tiga tingkatan yaitu :
1.    The Fairy Tale Stage ( Tingkatan Dongeng )
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3 – 6 tahun . Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya . Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agamapun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng – dongeng yang kurang masuk akal.
2.    The Realistic Stage ( Tingkatan Kenyataan )
Tingkatan ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga sampai ke usia ( masa usia) adolesense.  Pada masa ini ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep – konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis) . Konsep ini timbul melalui lembaga – lembaga keagamaan dan pengajaran dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak didasarkan atas dorongan emosional , hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis . Berdasarkan hal itu maka pada masa ini anak – anak tertarik dan senang kepada lembaga keagamaan yang mereka lihat yang dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka . Segala bentuk tindak (amal ) keagamanaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.
3.    The Individual Stage ( Tingkat Individu )
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka . Konsep keagamaan yang individalistis ini terbagi atas tiga golongan , yaitu :
a.    Konsep ke-Tuhanan yang konvemsional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
b.    Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal ( perorangan ).
c.    Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistic. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap ktingkatan dipengaruhi oleh factor intern  yaitu perkembangan usia dan factor ekstern berupa pengaruh luar yang di alaminya.
B. Sifat – sifat agama pada anak – anak
Anak-anak sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut. . Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas :
1.  Unreflektive (tidak mendalam )
Dalam penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak 73 % mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klaus  memotong jenggotnya untuk membuat bantal.
Dengan demikian anggapan mereka terhadap ajaran agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang – kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian pada beberapa orang anak terdapat mereka yang memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain. Penelitian Praff mengemukakan dua contoh tentang hal itu :
a.    Suatu peristiwa seorang anak mendapat keterangan dari ayahnya bahwa Tuhan selalu mengabulkan permintaan hambanya . Kebetulan seorang anak didepan sebuah took mainan. Sang anak tertarik pada sebuah topi  berbentuk kerucut. Sekembalinya kerumah ia langsung berdoa  kepada Tuhan untuk apa yang diinginkannya itu. Karena hal itu diketahui oleh ibunya, maka ia ditegur. Ibunya berkata bahwa dalam berdoa tak boleh seseorang memaksakan Tuhan untuk mengabulkan barang yang diinginkannya itu. Mendengar hal tersebut anak tadi langsung mengemukakan pertanyaan : “ mengapa ?
b.    Seorang anak perempuan diberitahukan tentang doa yang menggerakkan sebuah gunung. Berdasarkan pengetahuan tersebut maka pada suatu kesempatan anak itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan gunung – gunung yang ada didaerah Washington ke laut. Karena keinginannya itu tidak terwujud maka semenjak itu ia tak mau berdoa lagi.
Dua contoh idatas menunjukkan , bahwa anak itu sudah menunjukkan pemikiran yang kritis , walaupun bersifat sederhana , menurut penelitian pikiran kritis baru timbul pada usia 12 tahun sejalan dengan pertumbuhan moral. Di usia tersebut , bahkan anak kurang cerdaspun menunjukkan pemikiran yang korektif . Di sini menunjukkan bahwa anak meragukan kebenaran ajaran agama pada aspek – aspek yang bersifat kongkret.
2.   Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila keasadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya.
Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep kegamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang mendapat kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak – kanakan (Childish) dan memiliki sifat ego yang rendah . Hal yang demikian menganggu pertumbuhan keagamaanya.
3.    Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya di kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke-Tuhananmereka tampak jelas menggambarkan aspek – aspek kemanusiaan.
Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka menganggap perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat yang gelap.
Surga terletak dilangit dan untuk tempat yang baik. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung kerumah – rumah mereka sebagai layaknya orang megintai. Pada anak yang berusia 6 tahun menurut penelitian Praff pandangan anak tentang Tuhan adalah sebagai berikut :
Tuhan mempunyai wajah seperti manusia, telinganya lebar, dan besar. Tuhan tidak makan tetapi hanya minum embun.
Konsep ke-Tuhanan yang demikian itu mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi masing – masing.


4.  Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak – anak sebagian besar tumbuh mula – mula secara verbal ( ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat – kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu kedua hal tersebut kurang ada hubungannya dengan perkembangan agama pada anak dimasa selanjutnya tetapi menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnnya terhadap kehidupan agama anak itu di usia dewasanya. Bukti menunjukkan bahwa banyak orang dewasanya. Bukti menunjukkan bahwa banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa kanak – kanak mereka .
Sebaliknya belajar agama di usia dewasa banyak mengalami kesukaran. Latihan – latihan bersifat verbalis dan upacara keagamaan yang bersifat ritualis ( praktek ) merupakan hal yang berarti dan merupakan slah satu cirri dari tingkat perkembangan gama pada anak- anak.
5.  Imitatif
Dalam kehidupan sehari – hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak – anak pada dasarnya diperoleh dari meniru .Berdoa dan sholat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan dilingkungan , baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Para ahli jiwa menganggap bahwa dalam segala hal , anak merupakan peniru yang ulung . Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap sejumlah mahasiswa disalah stau perguruan tinggi menunjukkan, bahwa anak yang tidak mendapat pendidikan agama dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan menjadi pemilik kematangan agama yang kekal . Walaupun anak mendapat ajaran agama tidak semata – mata berdasarkan yang mereka peroleh sejak kecil namun pendidikan keagamaan (religious paedagogis) sangat mempengaruhi terwujudnya tingkah laku keagamaan ( religious behavior ) melalui sifat meniru itu.
6.    Rasa Heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak . Berbeda dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa , maka rasa kagum pada anak inji belum bersifat kritis dan kreativ. Mereke hanya kagum terhadap keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru (new experience) . Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita – cerita yang menimbulkan rasa takjub.
C. Perkembangan jiwa keagamaan pada remaja
1. Perkembangan rasa agama
Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki tahap progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa remaja mencangkup masa : Juvenilitas ( adolescantium ) , pubertas  dan nubilitas.
 Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada para remaja turut dipengaruhi perkebangan itu. Maksdunya penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut .
  Perkembangan agama para para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W. Starbuck adalah :
a. Pertumbuhan pikiran dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak – kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama merekapun sudah tertarik kepada masalah kebudayaan , sosial, ekonomi, dan norma – norma kehidupan lainnya.
b. Perkembangan perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan Religius akan cenderung mendorong didrinya lebih dekat kearah hidup yang religius pula. Sebaliknya bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok kearah tindakan seksual yang negative.

c. Pertimbangan sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material . Remaja sangat bingung menetukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi , maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis . Hasil penyelidikan
d. Perkembangan moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga mencangkupi :
1)      Self –directive ,  taat terhadap agama atau moral mengadakan kritik .
2)      Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3)      Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
4)      Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
5)      Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat .
e. Sikap dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah kegamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka ( besar kecil minatnya ).
    f.  Ibadah
Pandangan para remaja terhadap ajaran agama masalah doa sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukkan :
a)    148 siswi dinyatakan bahwa 20 orang di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman keagamaan sedangkan sisanya ( 128 ) mempunyai pengalaman keagamaan yang 68 diantaranya secara alamiah ( tidak melalui pengajaran resmi )
b)   31 orang di antara yang mendapat pengalamana keagamaan melalui proses alami itu mengungkapkan adanya perhatian mereka terhadap keajaiban tyang menakjubkan di balik keindahan alam yang mereka nikmati.
Selanjutnya mengenai pandangan mereka tentang ibadah diungkapkan sebagai berikut :
a)    42 % tak pernah mengerjakan ibadah
b)   33 % mengatakan mereka sembahyang karena mereka yakin Tuhan mendengar dan akan mengabulkan doa mereka.
c)    27 % beranggapan bahwa sembahyang dapat dapat menolong mereka merendahkan kesusahan yang mereka derita.
d)   18 % mengatakan bahwa sembahyang menyebabkan mereka menjadi senang sesudah menunaikannya.
e)    11 % mengatakan bahwa sembahyang  yang mengingatkan tanggung jawab dan tuntutan sebagai aggota masyarakat.
f)    4 % mengatakan bahwa sembahyang kebiasaan yang mengandung arti yang penting .
Jadi hanya 17 % mengatakan bahwa sembahyang bermanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan , sedangkan 26 % di antaranya menganggap bahwa sembahyang hanyalah merupakan media unutuk bermeditasi.
D. Konflik dan keraguan
Dari Sampel yang diambil W. Starbuck terhadap mahasiswa Middleburg College , tersimpul bahwa : dari remaja usia 11 – 26 tahun terhadap : 53 % dari 142 mahasiswa yang mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima, cara penerapan , keadaan lembaga keagamaan dan para pemuka agama. Hal yang serupa ketika diteliti terhadap 95 mahasiswa, maka 75 % di antaranya mengalami kasus yang serupa .
Dari analisis hasil penelitiannya W. Starbuck menemukan penyebab timbulnya keraguan itu antara lain adalah :
1. Kepribadian yang menyangkut tafsir dan jenis kelamin
a.    Bagi seseorang yang meiliki kepribadian introvert , maka kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang . Misalnya : seseorang memohon penyembuhan terhadap keluarganya yang sakit. Jika doanya ternyata tidak terkabul akan timbullah keraguan akan kebenaran sifat ke-Tuhanan tersebut. Hal yang demikian itu akan lebih membekas . Pada diri remaja yang sebelumnya adalah penganut agama yang taat.
b.    Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan pula faktor yang menentukan dalam keraguan agama. Wnita yang lebih cepat matang dalam perkembangannya lebih cepat menunjukkan keraguan daripada remaja pria. Tetapi sebaliknya dalam kualitas dan kuantitas keraguan remaja putri lebih kecil jumlahnya . Disamping itu jeraguan wanita lebih bersifat alami sedangkan pria bersifat intelek .

2.  Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama
Ada berbagai lembaga keagamaan , organisasi dan aliran kegamaan yang kadang – kadang menimbulkan kesan adanya pertetntang dalam ajarannya. Pengaruh ini dapart menjadi penyebab timbulnya keraguan pada remaja. Demikian pula tindak – tanduk pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti tuntutan agama.
3. Pernyataan Kebutuhan Manusia
Manusia memiliki sifat konservatis ( senang dengan yang sudah ada ) dan dorongan curiosity (dorongan inngin tahu ) .Berdasarkan faktor bwaan ini maka keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu  meruapakan pernyataan dari kebutuhan manusia normal. Ia mendorong mepelajari pelajaran agama dan kalau ada perbedaan – perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yang telah dimilikinya akan timbul keraguan .
4. Kebiasaan  
Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya. Misalnya seorang remaja protestan akan merasa ragu melihat situasi dan ajaran Islam yang sangat berbeda dengan apanya yang biasa diterimanya .
5. Pendidikan
Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang dimilikinya akan membawa pengaruh sikap nya terhadap ajaran agama . Remaja yang terpelajar akan menjadi lebih kritis terhadap ajaran agamanya terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis . Apalagi jika mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya itu secara lebih rasionalnya.
6. Percampuran antar Agama dan Listik
Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsure agama dengan mistik. Sejalan dengan perkembangan ,asyarakat kadang – antara hubungan dengan kadang – kadang secara tak disadari tindak kegamaan yang mereka lakukan ditopangi oleh praktek kebtinan dan mistik . Penyatuan unsur ini merupakan dilemma yang kabur dilemma yang kabar bagi para remaja .
Selanjutnya secara indidvidu sering pula terjadi keraguan yang disebabkan beberapa hal anatar lain mengenai :
a.    Kepercayaan menyangkut malah ke-Tuhanan dan implikasi terutama ( dalam agama Kristen ) status ke – Tuhanan sebagai trinitas.
b.    Tempat suci , menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat – tempat suci agama .
c.    Alat perlengkapan keagamaan seperti fungsi salib , (dalam Kristen ), fungsi mukena ( dalam Islam ).
d.   Fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan
e.    Pemuka agama , biarawan, biarawati.
f.     perbedaan aliran dalam keagamaan , Sekte ( dalam agama Kristen ) atau mahzab ( dalam Islam ).
Keragu - raguan yang demikian akan menjurus kearah munculnya konflik dalam diri para remaja sehingga mereka dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang baik, dan mana yang buruk , serta antara yang benar dan yang salah.
Konflik ada beberapa macam diantaranya :
a.    Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu
b.    Konflik yang terjadi antar pemilihan satu diantara dua macam agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan .
c.    Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekularisme .
d.   Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi.

SUMBER : Jalaluddin.Psikologi agama.PT RajaGarfindo Persada: Jakarta.1998.


Tidak ada komentar: