Kamis, 11 Oktober 2018

USHUL FIQIH DALIL-DALIL YANG DISEPAKATI AL-QUR'AN AS-SUNNAH


DOSEN                      : NURLIANA MA
MATA KULIAH       : USHUL FIQIH
NAMA                       : HAYATUN SAKINAH

DALIL-DALIL YANG DISEPAKATI
A. AL-QUR’AN
1. Pengertian Al Quran
Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar (infinitif) dari lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti “mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”.
Sedangkan secara istilah al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan. 
Al-Qur’an ( القرآن ) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Jadi dapat disimpulkan Al-Qur’an Al-Qur’an ialah wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat jibril, disampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw, isinya tak dapat ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah.
2. Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang telah dikoreksi oleh Allah.
Al-Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.
Pada setiap problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia dan yang sesuai pula dengan zaman. Dengan demikian, al-Qur’an selalu memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ini, “Islam adalah suatu sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah”.
3.Fungsi dan Tujuan Turunnya al Qur`an
Fungsi turunnya al Qur`an :
1. Sebagai petunjuk ( hudan ) bagi umat manusia.
2. Sebagai rahmat atau keberuntungan dari Allah dalam bentuk kasih sayang-Nya untuk umat manusia.
3. Sebagai pembeda ( furqon ) antara yang baik dan buruk, halal haram, salah benar, dan sebagainya.
4. Sebagai pengajaran yang akan mengajarkan dan membimbing umat dalam kehidupan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akherat.


5. Sebagai berita gembira ( busyro) bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allah dan semua manusia.
6. Sebagai penjelasan ( tibyan ) atau yang menjelaskan ( mubIn ) terhadap sesuatu yang disampaikan Allah.
7. Sebagai pembenar ( mushaddiq ) terhadap kitab yang sebelumnya ( Taurat, Zabur, Injil ) sebelum adanya perubahan terhadap isi kitab tersebut.
8. Sebagai cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia menuju jalan keselamatan.
9. Sebagai tafsil, yaitu memberi penjelasan secara rinci sehingga dapat dilaksanakan sesuai yang dikehendaki Allah.
10.Sebagai syifau al shudur, yaitu obat rohani yang sakit.
11.Sebagai hakim, yaitu sumber kebijaksanaan.
Al Qur`an diturunkan secara berangsur-angsur. Maksud diturunkan secara berangsur-angsur yaitu :
1. Sebagai tatsbital fu`ad ( kemantapan hati )
Yaitu ketenangan dan kepuasan rohani dalam menerima dan menjalankan alQur`an bagi Nabi maupun bagi umatnya. Bagi Nabi yaitu seringnya Nabi berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Bagi umatnya yaitu bahwa hukum Allah yang terkandung dalam al Qur`an merupakan revolusi budaya sehingga mungkin lebih baik bila dilakukan secara berangsur-angsur. Selain itu, beban hukum yang ada dalam al Qur`an dapat dilaksanakan tidak dengan sekaligus yang dapat menimbulkan masalah soSial dan keagamaan.
2. Untuk adanya tartil ( membaca dengan baik dan indah )
Karena al Qur`an turun pada kaum yang umumnya ummi atau butabaca tulis. Allah menghendaki ayat-ayat al Qur`an dapat dihafal oleh umat dengan baik secara menyeluruh sehingga otentisitas al Qur`an terjamin.
Turunnya al Qur`an dibagi ke dalam dua tahap, yaitu:
a. Periode Mekah ( ayat Makiyah ), ayat yang turun pada periode ini umumnya berisi tentang akidah dan moral Islam.
b. Periode Madinah ( ayat Madaniyah ), ayat yang turun pada periode ini berisi hukum-hukum dan pemantapan akidah.
4. Penjelasan Al Qur`an terhadap Hukum
Ayat-ayat al Qur`an dari segi kejelasan arti ada dua macam, yaitu :
1.      Ayat muhkam, yaitu ayat yang jelas maknanya.
2.      Ayat mutasyabih, yaitu ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahamaidengan beberapa kemungkinan.
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al Qur`an :
1.      Secara juz`I ( terperinci ), misalnya tentang waris (an Nisa (4):11-12) dan sanksi zina (an Nur(24):4).
2.      Secara kulli ( global ) atau garis besar yang masih membutuhkan penjelasan dari NabiMuhammad SAW.
3.      Secara isyarat, satu ayat al Qur`an dapat memberikan beberapa maksud.
Ayat al Qur`an dan juz`I penunjukannya terhadap hukum adalah pasti ( qath`I dilalah ). Umumnya berlaku untuk bidang aqidah, ibadah pokok, dan norma yang tidak akan mengalami perubahan ( mis; berbuat baik kepada ibu bapak ).Ayat al Qur`an mutasyabihat dan kulli serta mengandung isyarat penunjukannya terhadap hukum bersifat zhanni ( tidak meyakinkan ). Ayat al Qur`an yang bersifat zhanni ini umumnya berlaku untuk bidang muamalah dalam arti luas.


5. Hukum yang Terkandung dalam Al Qur`an
Secara garis besar hukum yang terkandung dalam al Qur`an dapat dibagi 3 macam :
1.    hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt mengenai apa yang harus diyakini dan harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya ( hukum i`tiqadiyah ) yang dikaji dalam “ilmu tauhid” atau “ ushuluddin”.
2.    hukum yang mengatur pergaulan manusia( hukum khuluqiyah ) yang kemudian dikembangkan dalam ilmu akhlak.
3.    hukum yang menyangkut tindak tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah Swt, dan dalam hubungannya dengan sesama manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau dijauhi ( hukum amaliyah ) yang dikembangkan dalam hukum syari`ah.
Hukum amaliyah tersebut secara garis besar dibagi dua :
1. Hukum ibadah dalam arti khusus, hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiriahmanusia dalam hubungannya dengan Allah Swt seperti; shalat, puasa zakat, dan haji.
2. Hukum muamalah dalam arti umum, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku lahiriah manusia dalam hubungannya dengan sesama dan alam sekitar, seperti; jual beli, pernikahan,pembunuhan, dan lain-lain.
Dilihat dari segi pemberlakuannya, hukum muamalah terdiri dari beberapa macam, yaitu:
a. Hukum muamalah dalam arti khusus, yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan harta bagi keperluan hidup. Contoh : jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan sebagainya.
b. Hukum munakahat, yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan akan penyaluran nafsu sahwat secara sah dan yang berkaitan dengan itu. Contoh : nikah, talak, cerai, dan pengasuhan anak yang dilahirkan.
c. Hukum mawarits dan wasiat, yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan perpindahan harta karena adanya kematian.
d. Hukum jinayah atau pidana, yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan usaha pencegahan terjadinya kejahatan; harta, penyaluran sahwat, dan lain-lain serta sanksinya. Contoh; pencurian, pembunuhan, perzinaan dan sebagainya.
e. Hukum murafa`at atau qadha atau hukum acara yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan usaha penyelesaian akibat tindak kejahatan di pengadilan. Contoh; kesaksian, gugatan, dan pembuktian.
f. Hukum dusturiyah atau tata Negara yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan kehidupan bermasyarakat dan bernegara
g. Hukum dualiyah atau hukum hubungan internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan dengan negara lain dalam keadaan damai maupun perang. Contoh; ekstradisi, perjanjian, tawanan perang dan sebagainya.



B. AS-SUNNAH
1. Definisi As-Sunnah
As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw.
2. Kehujjahan As-Sunnah
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.
3. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.
4. Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an 
Fungsi utama Sunnah adalah sebagai penjelas al Qur`an. Dengan demikian, bila al- Qur`an disebut sumber asli hukum fiqh, maka Sunnah disebut sebagai bayanni ( penjelas ). Oleh karena itu, Sunnah menjalankan fungsi sebagai berikut :
1)   As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum dan As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
2)   As-Sunnah sebagai bayan (penjelas)yaitu Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al Qur`an
3)   takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari)
5. Macam-Macam Sunnah :
1. Sunnah Qauliyah, yaitu ucapan Nabi yang didengar sahabat beliau dan disampaikannya kepada orang lain. Namun ucapan Nabi ini bukan wahyu al Qur`an. Untuk membedakan sunnah dan wahyu al Qur`an yang sama-sama lahir dari lisan Nabi adalah dengan cara, antara lain :
a. Bila wahyu al Qur`an selalu mendapat perhatian khusus dari Nabi dan menyuruh orang lain untuk menghafal dan menuliskannya serta mengurutkannya sesuai petunjuk Allah. Sedangkan sunnah tidak, bahkan Nabi melarang menuliskannya karena khawatir tercampur dengan al Qur`an.


b. Penukilan alQur`an selalu dalam bentuk mutawatir, sedangkan sunnah pada umumnya diriwayatkan secara perorangan.
c. Penukilan al Qur`an selalu dalam bentuk penukilan lafaz dengan arti sesuai dengan teks aslinya seperti yang didengar dari Nabi. Sedangkan sunnah dinukilkan secara ma`nawi (disampaikan dengan redaksi dan ibarat yang berbeda walau maksudnya sama ).
d. Bila yang diucapkan Nabi, al Qur`an mempunyai daya pesona / mu`jizat, sedangkan bila sunnah tidak.
2. Sunnah Fi`liyah, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikan kepada orang laindengan ucapannya.
Para ulama membagi perbuatan Nabi ke dalam tiga bentuk :
a. Perbuatan dan tingkah laku Nabi sebagai manusia biasa. Ulama berbeda pendapat tentang keteladanannya bagi umat, ada yang berpendapat bahwa perbuatan Nabi bentuk ini mempunyai daya hukum untuk diikuti dan ada yang berpendapat tidak mempunyai daya hukum untuk diikuti.
b. PerbuatanNabi yang memiliki petunjuk yang menjelaskan bahwa perbuatan tersebut khusus untuk Nabi.
c. Perbuatan dan tingkah laku Nabi yang berhubungan dengan penjelasan hukum.
Perbuatan Nabi yang diketahui merupakan penjelasan hukum untuk umat dan menjadi dalil hukum yang harus diikuti oleh umat.
3. Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan dihadapan Nabi atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi. Keadaan diamnya Nabi dibedakan pada dua bentuk :
Pertama, Nabi mengetahui perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Diamnya Nabi dapat berarti perbuatan itu tidak boleh dilakukan atau boleh dilakukan ( pencabutan larangan ).
Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itusebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya. Diamnya Nabi menunjukan hukumnya adalah ibahah ( meniadakan keberatan untuk diperbuat ).
6. Periwayatan Sunnah
Periwayatan Sunnah mempunyai tingkatan kebenaran yang ditentukan oleh faktor-faktor; bersinambungnya khabar itu dari yang menerimanya dari Nabi sampai kepada orang yang menyimpulkan dan membukukannya, kuantitas orang yang membawa khabar pada tiap sambungannya, kualitas pembawa khabar dari segi kuat dan setia ingatannya, dan kejujuran serta keadilannya.
Dari segi jumlah pembawa khabar, ulama membagi khabar ke dalam tiga tingkat :
1. Khabar Mutawatir, yaitu khabar yang disampaikan secara bersinambungan oleh orang banyak kepada orang banyak yang untuk setiap sambungan mencapai jumlah tertentu yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
2. Khabar Masyhur, yaitu khabar yang diterima dari Nabi oleh beberapa orang sahabat kemudian disampaikan kepada orang banyak yang selanjutnya disampaikan kepada orang banyak pula yang jumlahnya mencapai ukuran batas khabar mutawatir.
3. Khabar Ahad, yaitu khabar yang diterima dari Nabi secara perorangan dan dilanjutkan periwa- yatannya sampai kepada perawi akhir.


7. Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum
Jumhur ulama berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah al Qur`an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam, alasannya antara lain :
1. Banyak ayat al Qur`an yang menyuruh umat untuk menaati Rasul ( al Nisa`(4): 59
2. Ayat al Qur`an sering menyuruh umat untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (al-A`raf :158)
3. Ayat al Qur`an menetapkan bahwa yang dikatakan Nabi seluruhnya adalah berdasarkan wahyu ( al Najm (53) : 3-4 ).
Kekuatan Sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh kebenaran materi ( wurud ) dan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya, kekuatan Sunnah mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur, dan ahad.
Khabar mutawatir akan menghasilkan ilmu yakin (qath`i) bila memenuhi syarat-syarat :
1. Pembawa berita mencapai jumlah tertentu yang tidak mungkin sepakat berbohong.
2. Pembawa berita mengetahui pasti apa yang diberitakannya.
3. Pengetahuan mereka tentang berita itu berdasarkan pengalaman sendiri.
4. Jumlah penerima dan pembawa berita sama pada bagian pangkal, tengah, dan ujungnya.
5. Pembawa berita mempunyai kemampuan untuk menerima pengetahuan yang diberikan kepadanya.
Khabar atau Sunnah masyhur mempunyai kekuatan yang qath`i pada tingkat sahabat tetapi kekuatannya dari Nabi hanya bersifat zhanni. Menurut Abu Hanifah, khabar masyhur menimbulkan ilmu yakin walaupun kadarnya di bawah keyakinan yang ditimbulkan oleh khabar mutawatir.
Khabar ahad pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan yang meyakinkan. Ia hanya menghasilkan ilmu hanya sampai tingkatan zhan ( dugaan kuat dan tidak meyakinkan ). Menurut mayoritas ulama, khabar ahad dapat dijadikan dalil dalam beramal dan penetapan hukum bila memenuhi syarat-syarat :
a. Pembawa berita orang Islam
b. Pembawa berita sudah mukallaf ( dewasa )
c. Pembawa berita daya ingatnya kuat
d. Pembawa berita mempunyai sifat adil dan jujur dalam penyampaian khabar yang diterimanya.
Dari segi bersinambungnya sebuah khabar atau hadits dibagi menjadi dua tingkat :
Pertama, Muttasil Sanad, yaitu khabar yang periwayatannya bersinambungan dan tidak ada rantai yang putus.
Kedua, Khabar Mursal, yaitu khabar yang garis periwayatannya ada yang terputus. Ulama Syafi`i tidak menerima khabar mursal sebagai dalil, kecuali diperkuat oleh salah satu diantara hal berikut :
1. diperkuat oleh khabar yang pembawa beritanya bersinambung.
2. sesuai dengan ucapan sebagian sahabat.
3. diperkuat khabar mursal yang lain yang telah diterima sebagai dalil sebelumnya.
4. secara nyata diterima oleh ahli ilmu dan kelompok yang mengemukakan fatwa menge-nai hal yang sama dengan apa yang dijelaskan oleh hadits mursal tersebut.



Tidak ada komentar: