DOSEN : NURLIANA MA
MATA KULIAH : USHUL FIQIH
NAMA
: HAYATUN SAKINAH
DALIL-DALIL
YANG DISEPAKATI
A. AL-QUR’AN
1. Pengertian Al Quran
Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz
qira’ah, yaitu mashdar (infinitif) dari lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan.
Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti “mengumpulkan dan menghimpun
huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang
tersusun rapih”.
Sedangkan secara istilah al-Qur’an ialah kitab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan
sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan.
Al-Qur’an ( القرآن ) adalah kitab suci agama Islam.
Umat Islam memercayai
bahwa Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang
diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Jadi dapat disimpulkan Al-Qur’an Al-Qur’an ialah wahyu
berupa kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat jibril, disampaikannya
kepada Nabi Muhammad Saw, isinya tak dapat ditandingi oleh siapapun dan
diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya dengan jalan
mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah.
2. Kedudukan Al-Qur’an sebagai
Sumber Hukum
Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur
jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat
Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an.
Al-Qur’an lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi
tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang
telah dikoreksi oleh Allah.
Al-Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan
dengan berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun
politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha
Bijaksana dan Maha Terpuji.
Pada setiap problem itu al-Qur’an meletakkan
sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan
landasan untuk langkah-langkah manusia dan yang sesuai pula dengan zaman.
Dengan demikian, al-Qur’an selalu memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan
tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang
dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ini, “Islam adalah suatu sistem yang
lengkap, ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah
air atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan
keadilan. Ia adalah undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan
kekayaan atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau
tentara dan ide. Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah”.
3.Fungsi dan Tujuan Turunnya al Qur`an
Fungsi
turunnya al Qur`an :
1. Sebagai petunjuk ( hudan ) bagi umat
manusia.
2. Sebagai rahmat atau keberuntungan dari Allah dalam bentuk kasih
sayang-Nya untuk umat manusia.
3. Sebagai pembeda ( furqon ) antara yang baik dan buruk, halal
haram, salah benar, dan sebagainya.
4. Sebagai pengajaran yang akan mengajarkan dan membimbing umat
dalam kehidupan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akherat.
5. Sebagai berita gembira ( busyro) bagi orang yang telah berbuat
baik kepada Allah dan semua manusia.
6. Sebagai penjelasan ( tibyan ) atau yang menjelaskan ( mubIn )
terhadap sesuatu yang disampaikan Allah.
7. Sebagai pembenar ( mushaddiq ) terhadap kitab yang sebelumnya (
Taurat, Zabur, Injil ) sebelum adanya perubahan terhadap isi kitab tersebut.
8. Sebagai cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia menuju jalan
keselamatan.
9. Sebagai tafsil, yaitu memberi penjelasan secara rinci sehingga
dapat dilaksanakan sesuai yang dikehendaki Allah.
10.Sebagai syifau al shudur, yaitu obat rohani yang sakit.
11.Sebagai hakim, yaitu sumber kebijaksanaan.
Al Qur`an diturunkan secara berangsur-angsur. Maksud diturunkan
secara berangsur-angsur yaitu :
1.
Sebagai tatsbital fu`ad ( kemantapan hati )
Yaitu ketenangan dan kepuasan rohani dalam menerima dan menjalankan
alQur`an bagi Nabi maupun bagi umatnya. Bagi Nabi yaitu seringnya Nabi
berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Bagi umatnya yaitu bahwa hukum Allah yang
terkandung dalam al Qur`an merupakan revolusi budaya sehingga mungkin lebih
baik bila dilakukan secara berangsur-angsur. Selain itu, beban hukum yang ada dalam
al Qur`an dapat dilaksanakan tidak dengan sekaligus yang dapat menimbulkan
masalah soSial dan keagamaan.
2. Untuk adanya tartil ( membaca dengan baik dan indah )
Karena
al Qur`an turun pada kaum yang umumnya ummi atau butabaca tulis. Allah
menghendaki ayat-ayat al Qur`an dapat dihafal oleh umat dengan baik secara
menyeluruh sehingga otentisitas al Qur`an terjamin.
Turunnya al Qur`an dibagi ke dalam dua tahap, yaitu:
a. Periode Mekah ( ayat Makiyah ), ayat yang turun pada periode ini
umumnya berisi tentang akidah dan moral Islam.
b. Periode Madinah ( ayat Madaniyah ), ayat yang turun pada periode
ini berisi hukum-hukum dan pemantapan akidah.
4. Penjelasan Al Qur`an terhadap Hukum
Ayat-ayat
al Qur`an dari segi kejelasan arti ada dua macam, yaitu :
1.
Ayat muhkam, yaitu ayat yang
jelas maknanya.
2.
Ayat mutasyabih, yaitu ayat
yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahamaidengan beberapa
kemungkinan.
Dari
segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al Qur`an :
1.
Secara juz`I (
terperinci ), misalnya tentang waris (an Nisa (4):11-12) dan sanksi zina (an
Nur(24):4).
2.
Secara kulli ( global ) atau
garis besar yang masih membutuhkan penjelasan dari NabiMuhammad SAW.
3.
Secara isyarat, satu ayat al
Qur`an dapat memberikan beberapa maksud.
Ayat al Qur`an dan juz`I penunjukannya
terhadap hukum adalah pasti ( qath`I dilalah ). Umumnya berlaku untuk bidang
aqidah, ibadah pokok, dan norma yang tidak akan mengalami perubahan ( mis;
berbuat baik kepada ibu bapak ).Ayat al Qur`an mutasyabihat dan kulli serta
mengandung isyarat penunjukannya terhadap hukum bersifat zhanni ( tidak
meyakinkan ). Ayat al Qur`an yang bersifat zhanni ini umumnya berlaku untuk
bidang muamalah dalam arti luas.
5. Hukum yang Terkandung dalam Al Qur`an
Secara garis besar hukum yang terkandung
dalam al Qur`an dapat dibagi 3 macam :
1.
hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah Swt mengenai apa yang harus diyakini dan harus dihindari
sehubungan dengan keyakinannya ( hukum i`tiqadiyah ) yang dikaji dalam “ilmu
tauhid” atau “ ushuluddin”.
2.
hukum yang mengatur pergaulan
manusia( hukum khuluqiyah ) yang kemudian dikembangkan dalam ilmu akhlak.
3.
hukum yang menyangkut tindak
tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah Swt, dan
dalam hubungannya dengan sesama manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang harus
dilakukan atau dijauhi ( hukum amaliyah ) yang dikembangkan dalam hukum
syari`ah.
Hukum amaliyah tersebut secara garis besar dibagi dua :
1. Hukum ibadah dalam arti khusus, hukum yang mengatur tingkah laku dan
perbuatan lahiriahmanusia dalam hubungannya dengan Allah Swt seperti; shalat,
puasa zakat, dan haji.
2. Hukum muamalah dalam arti umum, yaitu hukum yang mengatur tingkah
laku lahiriah manusia dalam hubungannya dengan sesama dan alam sekitar, seperti;
jual beli, pernikahan,pembunuhan, dan lain-lain.
Dilihat
dari segi pemberlakuannya, hukum muamalah terdiri dari beberapa macam, yaitu:
a. Hukum muamalah dalam arti khusus, yaitu hukum yang mengatur
hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan harta bagi keperluan hidup.
Contoh : jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan sebagainya.
b. Hukum munakahat, yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama
manusia yang menyangkut kebutuhan akan penyaluran nafsu sahwat secara sah dan
yang berkaitan dengan itu. Contoh : nikah, talak, cerai, dan pengasuhan anak
yang dilahirkan.
c. Hukum mawarits dan wasiat, yaitu hukum yang mengatur hubungan
sesama manusia yang menyangkut kebutuhan perpindahan harta karena adanya
kematian.
d. Hukum jinayah atau pidana, yaitu hukum yang mengatur hubungan
sesama manusia yang menyangkut kebutuhan usaha pencegahan terjadinya kejahatan;
harta, penyaluran sahwat, dan lain-lain serta sanksinya. Contoh; pencurian,
pembunuhan, perzinaan dan sebagainya.
e. Hukum murafa`at atau qadha atau hukum acara yaitu hukum yang
mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan usaha penyelesaian
akibat tindak kejahatan di pengadilan. Contoh; kesaksian, gugatan, dan
pembuktian.
f. Hukum dusturiyah atau tata Negara yaitu hukum yang mengatur
hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara
g. Hukum dualiyah atau hukum hubungan internasional, yaitu hukum
yang mengatur hubungan sesama manusia yang menyangkut kebutuhan dengan negara
lain dalam keadaan damai maupun perang. Contoh; ekstradisi, perjanjian, tawanan
perang dan sebagainya.
B. AS-SUNNAH
1. Definisi As-Sunnah
As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan)
maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw.
2. Kehujjahan As-Sunnah
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain
didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan
kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan
kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa
As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun
demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan
qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan
ibadah, tetapi ada juga yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti)
yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan
bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang
disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat, shaum
wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati
sebagaimana hukum-hukum yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana
diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab:
36.
3. Hubungan As-Sunnah dengan
Al-Qur’an
As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat
dilihat dari dua aspek, yakni hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah
sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan
struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai penjelas bagi
Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah firman Allah
Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.
4. Fungsi As-Sunnah terhadap
Al-Qur’an
Fungsi utama Sunnah adalah sebagai penjelas
al Qur`an. Dengan demikian, bila al- Qur`an disebut sumber asli hukum fiqh,
maka Sunnah disebut sebagai bayanni ( penjelas ). Oleh karena itu, Sunnah
menjalankan fungsi sebagai berikut :
1) As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid
(penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai
2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum dan As-Sunnah sebagai
penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
larangan syirik, riba dan sebagainya.
2)
As-Sunnah sebagai bayan (penjelas)yaitu Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al Qur`an
3) takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat)
terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak
terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya,
kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya,
perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw
bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.”
(HR. Bukhari)
5. Macam-Macam Sunnah :
1. Sunnah Qauliyah, yaitu ucapan Nabi yang didengar sahabat beliau
dan disampaikannya kepada orang lain. Namun ucapan Nabi ini bukan wahyu al Qur`an.
Untuk membedakan sunnah dan wahyu al Qur`an yang sama-sama lahir dari lisan
Nabi adalah dengan cara, antara lain :
a. Bila wahyu al Qur`an selalu mendapat perhatian khusus dari Nabi
dan menyuruh orang lain untuk menghafal dan menuliskannya serta mengurutkannya
sesuai petunjuk Allah. Sedangkan sunnah tidak, bahkan Nabi melarang
menuliskannya karena khawatir tercampur dengan al Qur`an.
b. Penukilan alQur`an selalu dalam bentuk mutawatir, sedangkan
sunnah pada umumnya diriwayatkan secara perorangan.
c. Penukilan al Qur`an selalu dalam bentuk penukilan lafaz dengan
arti sesuai dengan teks aslinya seperti yang didengar dari Nabi. Sedangkan sunnah
dinukilkan secara ma`nawi (disampaikan dengan redaksi dan ibarat yang berbeda
walau maksudnya sama ).
d. Bila yang diucapkan Nabi, al Qur`an mempunyai daya pesona /
mu`jizat, sedangkan bila sunnah tidak.
2. Sunnah Fi`liyah, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikan
kepada orang laindengan ucapannya.
Para ulama membagi perbuatan Nabi ke dalam tiga bentuk :
a. Perbuatan dan tingkah laku Nabi sebagai manusia biasa. Ulama
berbeda pendapat tentang keteladanannya bagi umat, ada yang berpendapat bahwa
perbuatan Nabi bentuk ini mempunyai daya hukum untuk diikuti dan ada yang
berpendapat tidak mempunyai daya hukum untuk diikuti.
b. PerbuatanNabi yang memiliki petunjuk yang menjelaskan bahwa
perbuatan tersebut khusus untuk Nabi.
c. Perbuatan dan tingkah laku Nabi yang berhubungan dengan
penjelasan hukum.
Perbuatan Nabi yang diketahui merupakan penjelasan hukum untuk umat dan
menjadi dalil hukum yang harus diikuti oleh umat.
3. Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya
yang dilakukan dihadapan Nabi atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi
atau dicegah oleh Nabi. Keadaan diamnya Nabi dibedakan pada dua bentuk :
Pertama, Nabi mengetahui perbuatan itu
pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Diamnya Nabi dapat berarti perbuatan itu
tidak boleh dilakukan atau boleh dilakukan ( pencabutan larangan ).
Kedua, Nabi belum pernah melarang
perbuatan itusebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya. Diamnya Nabi
menunjukan hukumnya adalah ibahah ( meniadakan keberatan untuk
diperbuat ).
6. Periwayatan Sunnah
Periwayatan Sunnah mempunyai tingkatan
kebenaran yang ditentukan oleh faktor-faktor; bersinambungnya khabar itu dari
yang menerimanya dari Nabi sampai kepada orang yang menyimpulkan dan
membukukannya, kuantitas orang yang membawa khabar pada tiap sambungannya,
kualitas pembawa khabar dari segi kuat dan setia ingatannya, dan kejujuran
serta keadilannya.
Dari segi jumlah pembawa khabar, ulama membagi khabar ke dalam tiga
tingkat :
1. Khabar Mutawatir, yaitu khabar yang disampaikan secara
bersinambungan oleh orang banyak kepada orang banyak yang untuk setiap
sambungan mencapai jumlah tertentu yang tidak memungkinkan mereka bersepakat
untuk berbohong.
2. Khabar Masyhur, yaitu khabar yang diterima dari Nabi oleh
beberapa orang sahabat kemudian disampaikan kepada orang banyak yang
selanjutnya disampaikan kepada orang banyak pula yang jumlahnya mencapai ukuran
batas khabar mutawatir.
3. Khabar Ahad, yaitu khabar yang diterima dari Nabi secara
perorangan dan dilanjutkan periwa- yatannya sampai kepada perawi akhir.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Sunnah
berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah al Qur`an dan mempunyai
kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam, alasannya antara
lain :
1. Banyak ayat al Qur`an yang menyuruh umat untuk menaati Rasul ( al
Nisa`(4): 59
2. Ayat al Qur`an sering menyuruh umat untuk beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya (al-A`raf
:158)
3. Ayat al Qur`an menetapkan bahwa yang dikatakan Nabi seluruhnya
adalah berdasarkan wahyu ( al Najm (53) : 3-4 ).
Kekuatan Sunnah sebagai sumber hukum
ditentukan oleh kebenaran materi ( wurud ) dan penunjukannya terhadap hukum.
Dari segi kebenaran materinya, kekuatan Sunnah mengikuti kebenaran
pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur, dan
ahad.
Khabar mutawatir akan menghasilkan ilmu yakin (qath`i) bila memenuhi
syarat-syarat :
1. Pembawa berita mencapai jumlah tertentu yang tidak mungkin
sepakat berbohong.
2. Pembawa berita mengetahui pasti apa yang diberitakannya.
3. Pengetahuan mereka tentang berita itu berdasarkan pengalaman
sendiri.
4. Jumlah penerima dan pembawa berita sama pada bagian pangkal,
tengah, dan ujungnya.
5. Pembawa berita mempunyai kemampuan untuk menerima pengetahuan
yang diberikan kepadanya.
Khabar atau Sunnah masyhur mempunyai
kekuatan yang qath`i pada tingkat sahabat tetapi kekuatannya dari Nabi hanya
bersifat zhanni. Menurut Abu Hanifah, khabar masyhur menimbulkan ilmu yakin
walaupun kadarnya di bawah keyakinan yang ditimbulkan oleh khabar mutawatir.
Khabar ahad pada dasarnya tidak mempunyai
kekuatan yang meyakinkan. Ia hanya menghasilkan ilmu hanya sampai tingkatan
zhan ( dugaan kuat dan tidak meyakinkan ). Menurut mayoritas ulama, khabar ahad
dapat dijadikan dalil dalam beramal dan penetapan hukum bila memenuhi syarat-syarat
:
a. Pembawa berita orang Islam
b. Pembawa berita sudah mukallaf ( dewasa )
c. Pembawa berita daya ingatnya kuat
d. Pembawa berita mempunyai sifat adil dan jujur dalam penyampaian
khabar yang diterimanya.
Dari segi bersinambungnya sebuah khabar atau
hadits dibagi menjadi dua tingkat :
Pertama, Muttasil Sanad, yaitu khabar
yang periwayatannya bersinambungan dan tidak ada rantai yang putus.
Kedua, Khabar Mursal, yaitu khabar yang
garis periwayatannya ada yang terputus. Ulama Syafi`i tidak menerima khabar
mursal sebagai dalil, kecuali diperkuat oleh salah satu diantara hal berikut :
1. diperkuat oleh khabar yang pembawa beritanya bersinambung.
2. sesuai dengan ucapan sebagian sahabat.
3. diperkuat khabar mursal yang lain yang telah diterima sebagai dalil
sebelumnya.
4. secara nyata diterima oleh ahli ilmu dan kelompok yang
mengemukakan fatwa menge-nai hal yang sama dengan apa yang dijelaskan oleh
hadits mursal tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar