Minggu, 07 April 2019

MATERI PAI AQIDAH AKHLAK


KATA PENGANTAR


Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga tugas makalah   ini dapat terselesaikan dengan lancar dan tepat pada waktunya. Selanjutnya sholawat dan salam saya kirimkan kepada nabi besar Muhammad SAW sebagaimana beliau telah mengangkat derajat manusia dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.
Ucapan terima kasih saya berikan kepada bapak dosen DRA. Yeni Anis, MA. Selaku dosen pengampu mata kuliah Materi PAI MI/MTS/MA yang telah memberikan ilmu serta arahan pada tugas makalah ini.
Selanjutnya ucapan terima kasih saya berikan kepada teman-teman yang telah mau bekerja sama dan memberikan bantuannya terhadap tugas ini, tanpa mereka makalah ini juga tidak akan terselesaikan tepat pada waktunya. Harapan saya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya serta dapat menambah pengetahuan dan pemahaman pada pembahasan makalah ini. Aamiin.
Tentunya masih banyak kesalahan pada tugas makalah ini yang mungkin saya tidak sadari, oleh karena itu kritik dan saran bagi pembaca sangat saya harapkan guna perbaikan tugas makalah-makalah selanjutnya.



                                                                                                          Pekanbaru, 26 September 2017
                                                                                                                        Penyusun

                                                                                                               WIRDATUL FITRI
                                                                                                   

         


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.. ii
DAFTAR ISI. iii
BAB I. 4
PENDAHULUAN.. 4
A.   Latar belakang. 4
B.    Rumusan masalah. 4
C.    Tujuan. 4
BAB II. 5
PEMBAHASAN.. 5
A.   Al-Ghaffaar 5
B.    Ar-Razzaaq. 6
C.    Al-Malik. 8
D.   Al-Hasib. 9
BAB III. 11
PENUTUP.. 11
A.   Kesimpulan. 11
B.    Saran. 12
DAFTAR PUSTAKA.. 13





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Asma Al-Husna berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata Asma dan husna. Asma merupakan bentuk jamak dari kata al-ism yang berarti nama. Ia berakar dari kata al-sumuwwu yang berarti tinggi atau al-simah yang berarti tanda. Hal ini karena nama memang merupakan tanda bagi segala sesuatu sekaligus eksistensinya harus dijunjung tinggi.
Sementara al-husna merupakan bentuk mu`anats/feminism dari kata ahsana yang berarti yang terbaik. Memberikan sifat kepada Allah dengan bentuk superlative menunjukkan bahwa nama-nama tersebut merupakan realitas yang terbaik. Dengan demikian pengertian Al-Asma Al-Husna adalah nama-nama yang terbaik yang tidak ada kekurangannya sama sekali.
Sebagai seorang hamba, kita dianjurkan untuk mengetahui dan berdo`a kepada Allah Swt dengan menyebut nama-namaNya itu. Dengan menyebut nama-namaNya yang terangkum dalam Al-Asma Al-Husna, hati akan menjadi tenang dan tentram karena kita senantiasa merasa dekat dengan Allah. Oleh karena itu penulis akan membahas nilai-nilai mulia dari Al-Asma Al-Husna.
B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian al-Gaffaar, ar-Razzaaq, al-Malik, al-Hasib?
2.      Bagaimana meneladani Allah dengan sifat al-Gaffaar, ar-Razzaq, al-Malik, al-Hasib?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian al-Gaffaar, ar-Razzaq, al-Malik, al-Hasib.
2.      Mengetahui nilai-nilai positif dari sifat al-Gaffaar, ar-Razzaq, al-Malik, al-Hasib.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    AL-GAFFAAR
1.      Pengertian al-gaffaar
Al-gaffar berasal dari kata gafara yang berarti menutup. Ada juga yang berpendapat bahwa ia diambil dari kata al-Gafaru yang artinya tumbuh yang digunakan untuk mengobati luka. Jika diambil pendapat pertama Allah Swt melalui asmaNya al-Gaffar menampakkan kebaikanNya dengan menutupi keburukan manusia di dunia dengan anugerahNya. Sementara pendapat yang kedua berarti Allah Swt memberikan anugrah penyesalan atas dosa bagi hambaNya yang akhirnya penyesalan ini sebagai obat yang menyembuhkan dan terhapusnya dosa.
Di dalam Al qur`an kata al-Gaffar disebutkan sebanyak lima kali dua ayat disebutkan dengan terpisah yang identic dengan pengampunan dosa seperti  di dalam firman Allah Swt:
 فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارٗا ١٠
“maka aku katakana kepada mereka: Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun”(QS. Al-Nur (71):10)
Sementara tiga ayat lainnyadisandingkan dengan sifat `Aziz. Hal yang terakhir ini tidak menunjukkann pengampunan dosa melainkan Allah Swt dengan al-Gaffarnya menutupi dosa serta kesalahan dan banyak hal lainnya dari diri manusia. Hal ini di antaranya terdapat dalam al Qur`an:
رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَيۡنَهُمَا ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفَّٰرُ ٦٦
“Tuhan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”(QS. Shad(38):66)
2.      Meneladani Allah dengan sifat al-Gaffaar
Imam al-Ghazali mengartikan al-Gaffar Allah sebagai Dzat yang menampakkan keindahan dan menutupi keburukan. Dosa yang dilakukan oleh seseorang adalah bagian keburukan yang ditutupi oleh Allah sehingga tidak terlihat oleh orang laindi dunia dan dikesampingkan kelak di akhirat. Di antara hal yang ditutupi oleh Allah Swt pada manusia:
Pertama, tubuh bagian dalam manusia dengan bentuk lahiriah yang indah.
Kedua, bisikan dan kehendak hati manusia yang buruk.
Ketiga, dosa dan kesalahan manusia yang semestinya diketahui oleh khalayak umum.
            Dengan demikian makna al-Gaffar demikian luas karena mencakup berbagai hal dan bukan hanya semata-mata tertuju kepada seluruh manusia di muka bumi ini.
Kita dapat meneladani Allah melalui sifat al-Gaffar ini dengan cara memiliki sifat-sifat berikut:


a.       Senantiasa memaafkan kesalahan orang lain
Memaafkan atau al `afwu dalam bahasa arab berarti pembebasan dari tuntutan, kesalahan atau kekeliruan pada seseorang. Di dalam al-Qur`an tiga puluh tujuh kata al `afwu dengan berbagai kata perubahannya. Di dalam al-Qur`an misalnya dinyatakan:
وَأَن تَعۡفُوٓاْ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۚ ٢٣٧
“dan pema`afan kamu itu lebih dekat kepada takwa”(QS. Al-Baqarah(2):237)
Di dalam hadits dari Abu Hurairah Rasulullah Saw bersabda yang artinya “berilah kasih sayang dan berikan maaf, niscaya Allah Swt mengampuni kalian” (HR. Ibnu Majah).
b.      Menutupi kesalahan orang lain dengan tidak membeberkannya
Menutupi kesalahan orang lain dianjurkan oleh Rasulullah Saw. Rasulullah Saw menjanjikan bagi orang yang menutupi aib atau kesalahan orang lain, maka kelak Allah Swt akan menutupi aibnya juga diakhirat. Rasulullah Saw bersabda yang artinya “siapa saja yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat” (HR. Ibnu Majah).
c.       Menampakkan kelebihan orang lain dengan tidak menampilkan kekurangannya
Menampakkan kebaikan atau kelebihan orang lain juga merupakan pengamalan dari al-Gaffar. Dengan melakukan hal ini berarti seseorang benar-benar mencintai saudaranya dengan sebenar-benarnya.
B.     AR-RAZZAAQ
1.      Pengertian ar-Razzaq
Al-razzaq diambil dari kata razaqo atau rizq, yakni rezeki. Hanya saja makna rezeki mengalami pengembanagn makna sehingga ia juga dapat berarti adanya pangan, terpenuhinya kebutuhan, honor seseorang, ketenangan ataupun hujan serta makna-makna lainnya. Dengan demikian rezeki merupakan segala pemberian dari Allah Swt yang dapat dimanfaatkan baik berupa fisik, maupun non fisik.
Dalam al qur`an kata ar-razzaq hanya disebutkan satu kali dalam firman Allah Swt:
 إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِينُ ٥٨
“Sesungguhnya Allah dialah maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh”(QS.Al-Zariyat(51):58)
Hanya saja banyak ayat yang lain yang menggunakan akar kata arrazzaq ini yang tersebar di dalam alqur`an. Arrazzaq berarti Allah Swt secara berulang-ulang dan terus menerus memberikan banyak rezeki kepada makhluknya. Dalam hal ini imam Al-Ghazali berkata:”Allah Swt yang menciptakan rezeki dan ia pula yang menciptakan pencari rezeki sekaligus yang mengantarkannya serta menciptakan hokum kausalitas sehingga manusia dapat menikmatinya”.
2.      Meneladani Allah dengan sifat Arrazaq
a.       Setiap orang sudah dijamin rezekinya.
Sesungguhnya seluruh makhluk Allah sudah dijamin rezekinya. Manusia yang mendapatkan rezeki dengan cara-cara yang haram sekalipun sesungguhnya oleh Allah Swt sudah disediakan rezeki yang halal, tetapi sosok yang bersangkutan enggan mengambilnya atau kurang puas dengan perolehannya sehingga ia memilih rezeki yang haram. Allah Swt berfirman:
۞وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا ٦
dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezkinya ”(QS. Hud(11):6)
Agama menganjurkan manusia dalam rangka memperoleh rezeki untuk berusaha semaksimal mungkin dan apabila terhalangi, maka ia dianjurkan untuk berhijrah.
b.      Berusaha secara maksimal dan qona`ah
Harus dipahami bahwa jaminan rezeki yang diberikan oleh Allah Swt disertai dengan usaha. Selain itu kita juga harus menyadari bahwa yang memberikan jaminan rezeni tersebut adalah Allah Swt Dzat yang menciptakan makhluk dan hokum alam yang mengatur kehidupannya. Dengan demikian kehendak, perasaan selera dan instink manusia merupakan rezeki dan dengan hal-hal tersebut tercipta dorongan manusia untuk berusaha. Setelah manusia berusaha dan mendapatkan hasil, maka harus diiringi dengan sifat qona`ah atau merasa puas dengan apa yang diperoleh. Hanya saja jangan salah dalam memahami qona`ah sebab kepausan tersebut harus melalui tiga hal:
Pertama, usaha maksimal yang halal.
Kedua, keberhasilan memiliki hasil atau rezeki dari usaha yang maksimal itu sendiri.
Ketiga, dengan hati yang lapang menyerahkan apa yang telah dihasilkan karena sudah merasa puas dengan penghasilan sebelumnya. Oleh karena itu usaha yang maksimal yang tidak disertai dengan keberhasilan atau kepemilikan hasil usaha, maka ia belum dikatakan qona`ah apalagi jika seseorang menyerahkan apa yang ia peroleh tidak dengan hati yang lapang.
c.       Mengantarkan rezeki kepada orang lain
Dalam rangka meneladani asma Allah Al–razzaq sudah sepatutnya manusia menjadi penyebab sampainya rezeki yang ia terima kepada orang lain. Semakin banyak yang memberikan rezeki yang ia peroleh kepada orang lain, maka ia akan semakin meneladani sifat Al-Razzaq Allah Swt. Meskipun demikian Al-Quran tidak menganjurkan seseorang untuk memberikan seluruh  rezeki yang di perolehnya yang bersifat materi kepada orang lain. Dalam hal ini Allah Swt berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰكُم ِ ٢٥٤
“hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah kami berikan kepadamu(QS. Al-Baqarah (2):254)
Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa hendaklah sebagian rezeki yang kita peroleh untuk ditabung untuk biaya-biaya yang tidak terduga. Adapun untuk rezeki yang bersifat non fisik seperti ilmu pengetahuan, maka tidak ada kewajiban menyimpannya. Karena ilmu pengetahuan semakin diberikan, maka semakin bertambah bukan berkurang.


C.    AL-MALIK
1.      Pengertian al-malik
Al-malik secara umum di artikan dengan kata raja atau penguasa. Kata Al-malik terdiri dari huruf Mim Lam Kaf  yang rangkaiannya mengandung makna kekuatan dan keshahihan. Kata Al-malik di dalam Al-Quran  terulang sebanyak lima kali dan biasanya diartikan dengan arti raja. Dua dari ayat tersebut disandingkan kepada Al-haq yang berarti pasti dan sempurna. Hal ini karena kerajaan Allah Swt abadi dan sempurna tidak seperti kerajaan manusia. Hal ini terlihat dalam firman Allah Swt:
فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ ٱلۡمَلِكُ ٱلۡحَقُّۗ ١١٤
“Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya” (QS. Thaha(20):114)
فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ ٱلۡمَلِكُ ٱلۡحَقُّۖ ١١٦
“Maka Maha Tinggi Allah, raja yang sebenarnya” (QS. Al-Mu’minun(23):116)
Imam al-ghazali menyatakan kata Al-malik menunjukkan bahwa Allah Swt tidak membutuhkan kepada segala sesuatu melainkan segala sesuatu membutuhkan diriNya. Tidak hanya itu bahkan segala wujud yang ada di muka bumi ini bersumber darinya dan ia menjadi pemilik bagi seluruh wujud tersebut. Dengan demikian Allah Swt adalah raja sekaligus pemilik. Kepemilikan Allah Swt sangat berbeda dengan kepemilikan manusia. Kepemilikan manusia terbatas sedangkan kepemilikan Allah Swt tidak terbatas. Sebagai missal bisa saja manusia memiliki mobil hanya saja dengan kepemilikannya tersebut ia memiliki keterbatasan. Tidak mungkin seseorang dengan sengaja menabrak mobilnya. Sebab apabila ia melakukan hal ini, minimal kecaman akan ia peroleh karena manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara ini tidak berlaku bagi Allah Swt karena Allah Swt tidak dimintakan pertanggungjawaban atas perbuataNya. Allah Swt juga sebagai raja. Raja berarti  Dzat yang memiliki hak mengatur terhadap diriNya maupun sosok lain dengan kekuatan dan kekuasaannya. Manusia bisa saja menjadi raja tetapi tidak dapat menjadi raja yang mutlak karena hal tersebut hanya milik Allah Swt.
2.      Meneladani Allah dengan sifat al-malik
a.       Manusia memiliki keterbatasan kepemilikan terhadap sesuatu
Dengan asma Allah Swt al-Malik ini seharusnya manusia sadar bahwa dirinya terbatas. Bukan hanya itu harta benda yang mereka miliki juga terbatas, baik terbatas jumlahnya atau terbatas pemakaiannya. Manusia hanya bisa memakai harta yang ia miliki di dunia saja. Demikian pula kepemilikan yang ia miliki juga terbatas. Seseorang bisa saja memiliki karyawan tetapi ia hanya dapat menguasai sisi lahiriah dari karyawannya tersebut. Ia tidak dapat menguasai sisi bathinnya.
b.      Pengendalian nafsu
Dengan mengerti dan memahami sifat al-Malik dengan baik, seseorang dapat menguasai hawa nafsunya. Godaan yang paling besar bagi manusia adalah godaan hawa nafsu. Dalam sejarah, umat Islam pernah mengalami kekalahan perang, yaitu dalam perang Uhud. Kekalahan tersebut terjadi karena sebagian dari pasukan umat Islam tergoda dengan harta ghonimah atau harta rampasan perangs ehingga Allah Swt mengurangi kekuatan mereka dan akhirnya mereka kalah di dalam perang. Saat itu seandainya umat Islam tidak tergoda dengan harta rampasan perang yang ada dan meyakini bahwa Allah Swt adalah Pemilik semuanya, niscaya pasukan umat Islam akan menang.
c.       Bersyukur terhadap nikmat Allah
Mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan kepada manusia merupakan bentuk pengamalan dari penghayatan seseorang terhadap asma Allah Swt al-Malik. Seseorang akan sadar bahwa pemilik sebenarnya bagi segala sesuatu adalah Allah Swt. Oleh karena itu ketika seseorang sudah berusaha dengan maksimal lalu ia memperoleh rezeki, maka ia akan mensyukuri rezeki itu. Ia tidak akan mengumpat atau mencaci orang lain karena ia sadar bahwa Allah Swt adalah pemilik sejatinya.
D.    AL-HASIB
1.      Pengertian al-Hisab
Al-Hisab secara etimologi berasal dari kata hasiba dengan tiga huruf Arab ha, sin dan ba. Setidaknya terdapat empat kata dalam bahasa Arab, yaitu menghitung, mencukupkan, bantal kecil dan penyakit yang menimpa kulit sehingga kulit menjadi putih. Hanya saja makna ketiga dan keempat dari kata al-Hasib tidak mungkin dilekatkan kepada Allah Swt. Dalam al Qur`an kata al-Hisab disebutkan empat kali. Tiga terkait dengan Allah Swt dan satu terkait dengan manusia. Dua ayat yang terkait dengan Allah Swt dapat diartikan dengan Dzat yang memberi kecukupan. Diantaranya terdapat dalam firman Allah Swt:
وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبٗا ٣٩
“Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan”(QS. Al-Ahzab(33):39)
Imam al-Ghazali mengartikan al-Hisab dengan Dia yang mencukupi siapa saja yang mengandalkan diriNya. Sifat ini hanya milik Allah karena tidak ada satu makhlukpun di dunia ini yang dapat mencukupi kebutuhan orang lain. Menurut al-Ghazali rezeki yang diberikan oleh Allah Swt kepada bayi sesungguhnya karena al-Hisabnya Allah Swt. Allahlah yang mencukupi kebutuhan bayi dengan menciptakan ibu yang menyusui, air susunya dan instink serta keinginan untuk menyusui.
Al-Hasib dapat diartikan juga dengan menghitung. Jika kata al-Hasib dikaitkan dengan makna menghitung, maka Allah adalah Dzat yang melakukan perhitungan, baik menghitung amal baik dan buruk seorang manusia dengan cermat dan teliti sehingga tidak ada yang terlepas sedikitpun. Terkadang kata al-Hasib juga dapat diartikan sebagai pemberi perhitungan.
2.      Meneladani Allah dengan sifat al-Hasib
a.       Tenang dan tentram bersam dengan Allah Swt
Seseorang yang memaknai al-Hasib sebagai Dzat yang memberi kecukupan, maka ia akan nyaman dan tentram. Ia tidak akan terganggu oleh bujuk rayu setan lalu menjadi sekutunya dan ia tidak akan sedih saat harus kehilangan sesuatu, baik berupa materi atau kesempatan karena ia yakin dirinya sudah merasa cukup dengan adanya Allah Swt. Allah Swt berfirman:
وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ ١٧٣
“dan mereka menjawab:”cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik pelindung”.(QS. Ali Imran (3):173)
b.      Melakukan amal shalih semata-mata karena Allah
Seseorang yang memaknai al-Hasib dengan makna perhitungan, maka ia akan meyakini sesungguhnya Allah Swt akan menghitung amal shalih setiap manusia. Bagi yang meneladaninya, maka terlebih dahulu ia akan sepenuhnya menyadari bahwa hanya Allah Swt yang memberinya kecukupan dengan demikian segala yang ia lakukan ditujukan semata-mata karena Allah Swt. Selain itu segala kehendak yang ia lakukan harus sesuai dengan kehendaknya. Hal ini dilakukan karena ia yakin Allah Swt telah mencukupkan kebutuhannya.

c.       Melakukan introspeksi diri secara terus-menerus
Seandainya makna al-hasib diartikan sebagai Dzat yang memberi perhitungan, maka yang meneladaninya sudah pasti akan senantiasa melakukan introspeksi diri. Hal tersebut dilakukan karena ia menyadari sepenuhnya kelak Allah Swt akan melakukan perhitungan terhadap dirinya ddengan amat cermat dan teliti. Selain itu, dalam hal apapun yang diminta atas dasar kewajiban agama seperti menunaikan zakat mal misalnya, maka ia akan segera menghitung hartanya dengan cermat dan penuh ketelitian sehingga tidak ada yang keliru.














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Al-Gaffaar berarti Allah Swt adalah Dzat yang Maha Pengampun dengan menutupi keburukan manusia di dunia sehingga tidak diketahui oleh khalayak ramai, dan memaafkannya kelak di akhirat. Melalui sifat al-gaffaar yang sudah dipelajari, hendaklah kita memiliki sifat pemaaf, menampakkan kelebihan orang lain dan melupakan keburukannya.
2.      Ar-Razzaq berarti Allah Swt Dzat yang memberikan rezeki berulang kali dengan berbagai variasi rezeki yang ada kepada makhluk-makhlukNya di dunia. Bukan hanya itu, selain memberikan rezeki, Allah juga menciptakan sosok yang menerima rezeki. Dari sifat ar-Razzaq seharusnya kita meyakini bahwa Allah Swt telah memberikan rezeki kepada kita. Oleh karena itu kita harus senantiasa bersemangat, sabar dan ikhlas serta qona`ah dalam mencari dan membelanjakan rezeki yang telah diberikan oleh Allah Swt di jalan yang diridhoi. Selain itu semakin sering mengantarkan rezeki kepada orang lain, maka semakin meneladani sifat ar-Razzaq tersebut.
3.      Al-Malik berarti Allah Swt Dzat yang memiliki atau menguasai segala sesuatu. Dari sifat al-malik seharusnya kita disiplin dan memiliki target di dalam menggapai prestasi dengan bekerja keras secara maksimal. Seandainya target tersebut belum tercapai, maka kita tidak boleh putus asa karena kemampuan manusia yang terbatas dan mengembalikannay kepada Allah Swt sebagai pemilik hakiki. Seandainya memiliki harta melimpah, maka hendaklah seseorang tidak dikendalikan oleh hawa nafsunya melainkan bersyukur terhadap nikmat yang telah diberikan.
4.      Al-Hasib berarti Allah Swt Dzat yang mencukupi. Sifat ini tidak dapat disandang kecuali oleh Allah Swt sendiri, karena hanya Allah yang dapat mencukupi. Dari sifat al-Hasib hendaknya seseorang harus merasa nyaman karena rezekinya sudah dicukupi oleh Allah Swt dan dengan rezekinya itu ia beramal shalih dan setelah itu melakukan intropeksi secara terus-menerus terhadapa apa yang dilakukan.  


B.     Saran
            Penulis menyadari jika dalam tulisan ini masih banyak kekurangan. Karena itu penulis berharap masukan dan saran yang membangun agar sempurnanya makalah ini.










Tidak ada komentar: