KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah
SWT, yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar dan
tepat pada waktunya. Selanjutnya sholawat dan salam saya kirimkan
kepada nabi besar Muhammad SAW sebagaimana beliau telah mengangkat derajat
manusia dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.
Ucapan terima kasih saya berikan kepada bapak dosen DRA. Yeni Anis, MA. Selaku dosen pengampu
mata kuliah Materi PAI
MI/MTS/MA yang telah memberikan ilmu serta arahan pada tugas makalah ini.
Selanjutnya ucapan terima kasih saya berikan kepada teman-teman yang telah
mau bekerja sama dan memberikan bantuannya terhadap tugas ini, tanpa mereka
makalah ini juga tidak akan terselesaikan tepat pada waktunya. Harapan saya, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembacanya serta dapat menambah pengetahuan dan pemahaman pada
pembahasan makalah ini. Aamiin.
Tentunya masih banyak kesalahan pada tugas makalah ini yang mungkin saya
tidak sadari, oleh karena itu kritik dan saran bagi pembaca sangat saya
harapkan guna perbaikan tugas makalah-makalah selanjutnya.
Pekanbaru, 26 September 2017
Penyusun
WIRDATUL FITRI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Ghaffaar
B. Ar-Razzaaq
C. Al-Malik
D. Al-Hasib
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Asma Al-Husna berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua
kata Asma dan husna. Asma merupakan bentuk jamak dari kata al-ism
yang berarti nama. Ia berakar dari kata al-sumuwwu yang berarti tinggi
atau al-simah yang berarti tanda. Hal ini karena nama memang merupakan
tanda bagi segala sesuatu sekaligus eksistensinya harus dijunjung tinggi.
Sementara al-husna merupakan bentuk mu`anats/feminism dari
kata ahsana yang berarti yang terbaik. Memberikan sifat kepada Allah
dengan bentuk superlative menunjukkan bahwa nama-nama tersebut merupakan
realitas yang terbaik. Dengan demikian pengertian Al-Asma Al-Husna adalah
nama-nama yang terbaik yang tidak ada kekurangannya sama sekali.
Sebagai seorang hamba, kita dianjurkan untuk mengetahui dan berdo`a
kepada Allah Swt dengan menyebut nama-namaNya itu. Dengan menyebut nama-namaNya
yang terangkum dalam Al-Asma Al-Husna, hati akan menjadi tenang dan tentram
karena kita senantiasa merasa dekat dengan Allah. Oleh karena itu penulis akan
membahas nilai-nilai mulia dari Al-Asma Al-Husna.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian al-Gaffaar, ar-Razzaaq, al-Malik,
al-Hasib?
2.
Bagaimana meneladani Allah dengan sifat al-Gaffaar,
ar-Razzaq, al-Malik, al-Hasib?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui pengertian al-Gaffaar, ar-Razzaq,
al-Malik, al-Hasib.
2.
Mengetahui nilai-nilai positif dari sifat al-Gaffaar, ar-Razzaq, al-Malik,
al-Hasib.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
AL-GAFFAAR
1.
Pengertian al-gaffaar
Al-gaffar berasal dari kata gafara yang berarti menutup. Ada juga
yang berpendapat bahwa ia diambil dari kata al-Gafaru yang artinya
tumbuh yang digunakan untuk mengobati luka. Jika diambil pendapat pertama Allah
Swt melalui asmaNya al-Gaffar menampakkan kebaikanNya dengan menutupi keburukan
manusia di dunia dengan anugerahNya. Sementara pendapat yang kedua berarti
Allah Swt memberikan anugrah penyesalan atas dosa bagi hambaNya yang akhirnya
penyesalan ini sebagai obat yang menyembuhkan dan terhapusnya dosa.
Di
dalam Al qur`an kata al-Gaffar disebutkan sebanyak lima kali dua ayat
disebutkan dengan terpisah yang identic dengan pengampunan dosa seperti di dalam firman Allah Swt:
فَقُلۡتُ
ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارٗا ١٠
“maka
aku katakana kepada mereka: Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia
adalah Maha Pengampun”(QS. Al-Nur (71):10)
Sementara
tiga ayat lainnyadisandingkan dengan sifat `Aziz. Hal yang terakhir ini tidak
menunjukkann pengampunan dosa melainkan Allah Swt dengan al-Gaffarnya menutupi
dosa serta kesalahan dan banyak hal lainnya dari diri manusia. Hal ini di
antaranya terdapat dalam al Qur`an:
رَبُّ
ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَيۡنَهُمَا ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفَّٰرُ ٦٦
“Tuhan
langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya yang Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun”(QS. Shad(38):66)
2.
Meneladani Allah dengan sifat al-Gaffaar
Imam
al-Ghazali mengartikan al-Gaffar Allah sebagai Dzat yang menampakkan keindahan
dan menutupi keburukan. Dosa yang dilakukan oleh seseorang adalah bagian
keburukan yang ditutupi oleh Allah sehingga tidak terlihat oleh orang laindi
dunia dan dikesampingkan kelak di akhirat. Di antara hal yang ditutupi oleh
Allah Swt pada manusia:
Pertama, tubuh bagian dalam manusia dengan bentuk lahiriah yang indah.
Kedua, bisikan dan kehendak hati manusia yang buruk.
Ketiga, dosa dan kesalahan manusia yang semestinya diketahui oleh
khalayak umum.
Dengan
demikian makna al-Gaffar demikian luas karena mencakup berbagai hal dan bukan
hanya semata-mata tertuju kepada seluruh manusia di muka bumi ini.
Kita
dapat meneladani Allah melalui sifat al-Gaffar ini dengan cara memiliki
sifat-sifat berikut:
a.
Senantiasa
memaafkan kesalahan orang lain
Memaafkan
atau al `afwu dalam bahasa arab berarti pembebasan dari tuntutan, kesalahan
atau kekeliruan pada seseorang. Di dalam al-Qur`an tiga puluh tujuh kata al
`afwu dengan berbagai kata perubahannya. Di dalam al-Qur`an misalnya
dinyatakan:
وَأَن
تَعۡفُوٓاْ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۚ ٢٣٧
“dan pema`afan
kamu itu lebih dekat kepada takwa”(QS. Al-Baqarah(2):237)
Di
dalam hadits dari Abu Hurairah Rasulullah Saw bersabda yang artinya “berilah
kasih sayang dan berikan maaf, niscaya Allah Swt mengampuni kalian” (HR. Ibnu
Majah).
b.
Menutupi
kesalahan orang lain dengan tidak membeberkannya
Menutupi
kesalahan orang lain dianjurkan oleh Rasulullah Saw. Rasulullah Saw menjanjikan
bagi orang yang menutupi aib atau kesalahan orang lain, maka kelak Allah Swt
akan menutupi aibnya juga diakhirat. Rasulullah Saw bersabda yang artinya “siapa
saja yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di
dunia dan akhirat” (HR. Ibnu Majah).
c.
Menampakkan
kelebihan orang lain dengan tidak menampilkan kekurangannya
Menampakkan
kebaikan atau kelebihan orang lain juga merupakan pengamalan dari al-Gaffar.
Dengan melakukan hal ini berarti seseorang benar-benar mencintai saudaranya
dengan sebenar-benarnya.
B.
AR-RAZZAAQ
1.
Pengertian ar-Razzaq
Al-razzaq
diambil dari kata razaqo atau rizq, yakni rezeki. Hanya saja makna rezeki
mengalami pengembanagn makna sehingga ia juga dapat berarti adanya pangan,
terpenuhinya kebutuhan, honor seseorang, ketenangan ataupun hujan serta
makna-makna lainnya. Dengan demikian rezeki merupakan segala pemberian dari
Allah Swt yang dapat dimanfaatkan baik berupa fisik, maupun non fisik.
Dalam al qur`an kata ar-razzaq
hanya disebutkan satu kali dalam firman Allah Swt:
إِنَّ
ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِينُ ٥٨
“Sesungguhnya
Allah dialah maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat
kokoh”(QS.Al-Zariyat(51):58)
Hanya
saja banyak ayat yang lain yang menggunakan akar kata arrazzaq ini yang
tersebar di dalam alqur`an. Arrazzaq berarti Allah Swt secara
berulang-ulang dan terus menerus memberikan banyak rezeki kepada makhluknya.
Dalam hal ini imam Al-Ghazali berkata:”Allah Swt yang menciptakan rezeki dan
ia pula yang menciptakan pencari rezeki sekaligus yang mengantarkannya serta
menciptakan hokum kausalitas sehingga manusia dapat menikmatinya”.
2.
Meneladani Allah dengan sifat Arrazaq
a.
Setiap
orang sudah dijamin rezekinya.
Sesungguhnya
seluruh makhluk Allah sudah dijamin rezekinya. Manusia yang mendapatkan rezeki
dengan cara-cara yang haram sekalipun sesungguhnya oleh Allah Swt sudah
disediakan rezeki yang halal, tetapi sosok yang bersangkutan enggan
mengambilnya atau kurang puas dengan perolehannya sehingga ia memilih rezeki
yang haram. Allah Swt berfirman:
۞وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا
عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا ٦
“dan
tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allahlah yang memberi
rezkinya ”(QS. Hud(11):6)
Agama
menganjurkan manusia dalam rangka memperoleh rezeki untuk berusaha semaksimal
mungkin dan apabila terhalangi, maka ia dianjurkan untuk berhijrah.
b.
Berusaha
secara maksimal dan qona`ah
Harus
dipahami bahwa jaminan rezeki yang diberikan oleh Allah Swt disertai dengan
usaha. Selain itu kita juga harus menyadari bahwa yang memberikan jaminan
rezeni tersebut adalah Allah Swt Dzat yang menciptakan makhluk dan hokum alam
yang mengatur kehidupannya. Dengan demikian kehendak, perasaan selera dan
instink manusia merupakan rezeki dan dengan hal-hal tersebut tercipta dorongan
manusia untuk berusaha. Setelah manusia berusaha dan mendapatkan hasil, maka
harus diiringi dengan sifat qona`ah atau merasa puas dengan apa yang diperoleh.
Hanya saja jangan salah dalam memahami qona`ah sebab kepausan tersebut harus
melalui tiga hal:
Pertama, usaha maksimal yang halal.
Kedua, keberhasilan memiliki hasil atau rezeki dari usaha yang maksimal
itu sendiri.
Ketiga, dengan hati yang lapang menyerahkan apa yang telah dihasilkan
karena sudah merasa puas dengan penghasilan sebelumnya. Oleh karena itu usaha
yang maksimal yang tidak disertai dengan keberhasilan atau kepemilikan hasil
usaha, maka ia belum dikatakan qona`ah apalagi jika seseorang
menyerahkan apa yang ia peroleh tidak dengan hati yang lapang.
c.
Mengantarkan
rezeki kepada orang lain
Dalam
rangka meneladani asma Allah Al–razzaq sudah sepatutnya manusia menjadi
penyebab sampainya rezeki yang ia terima kepada orang lain. Semakin banyak yang
memberikan rezeki yang ia peroleh kepada orang lain, maka ia akan semakin
meneladani sifat Al-Razzaq Allah Swt. Meskipun demikian Al-Quran
tidak menganjurkan seseorang untuk memberikan seluruh rezeki yang di perolehnya yang bersifat
materi kepada orang lain. Dalam hal ini Allah Swt berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰكُم ِ ٢٥٤
“hai
orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki
yang telah kami berikan kepadamu(QS. Al-Baqarah (2):254)
Ayat
di atas juga mengisyaratkan bahwa hendaklah sebagian rezeki yang kita peroleh
untuk ditabung untuk biaya-biaya yang tidak terduga. Adapun untuk rezeki yang
bersifat non fisik seperti ilmu pengetahuan, maka tidak ada kewajiban
menyimpannya. Karena ilmu pengetahuan semakin diberikan, maka semakin bertambah
bukan berkurang.
C.
AL-MALIK
1. Pengertian al-malik
Al-malik
secara umum di artikan dengan kata raja atau penguasa. Kata Al-malik
terdiri dari huruf Mim Lam Kaf yang rangkaiannya mengandung makna kekuatan
dan keshahihan. Kata Al-malik di dalam Al-Quran terulang sebanyak lima kali dan biasanya
diartikan dengan arti raja. Dua dari ayat tersebut disandingkan kepada Al-haq
yang berarti pasti dan sempurna. Hal ini karena kerajaan Allah Swt abadi
dan sempurna tidak seperti kerajaan manusia. Hal ini terlihat dalam firman
Allah Swt:
فَتَعَٰلَى
ٱللَّهُ ٱلۡمَلِكُ ٱلۡحَقُّۗ ١١٤
“Maka Maha
Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya” (QS. Thaha(20):114)
فَتَعَٰلَى
ٱللَّهُ ٱلۡمَلِكُ ٱلۡحَقُّۖ ١١٦
“Maka Maha
Tinggi Allah, raja yang sebenarnya” (QS. Al-Mu’minun(23):116)
Imam
al-ghazali menyatakan kata Al-malik
menunjukkan bahwa Allah Swt tidak membutuhkan kepada segala sesuatu melainkan
segala sesuatu membutuhkan diriNya. Tidak hanya itu bahkan segala wujud yang
ada di muka bumi ini bersumber darinya dan ia menjadi pemilik bagi seluruh
wujud tersebut. Dengan demikian Allah Swt adalah raja sekaligus pemilik.
Kepemilikan Allah Swt sangat berbeda dengan kepemilikan manusia. Kepemilikan
manusia terbatas sedangkan kepemilikan Allah Swt tidak terbatas. Sebagai missal
bisa saja manusia memiliki mobil hanya saja dengan kepemilikannya tersebut ia
memiliki keterbatasan. Tidak mungkin seseorang dengan sengaja menabrak
mobilnya. Sebab apabila ia melakukan hal ini, minimal kecaman akan ia peroleh
karena manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara ini tidak berlaku
bagi Allah Swt karena Allah Swt tidak dimintakan pertanggungjawaban atas
perbuataNya. Allah Swt juga sebagai raja. Raja berarti Dzat yang memiliki hak mengatur terhadap
diriNya maupun sosok lain dengan kekuatan dan kekuasaannya. Manusia bisa saja
menjadi raja tetapi tidak dapat menjadi raja yang mutlak karena hal tersebut
hanya milik Allah Swt.
2.
Meneladani Allah dengan sifat al-malik
a. Manusia memiliki keterbatasan
kepemilikan terhadap sesuatu
Dengan asma Allah Swt al-Malik ini seharusnya manusia sadar bahwa dirinya terbatas. Bukan hanya itu
harta benda yang mereka miliki juga terbatas, baik terbatas jumlahnya atau
terbatas pemakaiannya. Manusia hanya bisa memakai harta yang ia miliki di dunia
saja. Demikian pula kepemilikan yang ia miliki juga terbatas. Seseorang bisa
saja memiliki karyawan tetapi ia hanya dapat menguasai sisi lahiriah dari
karyawannya tersebut. Ia tidak dapat menguasai sisi bathinnya.
b. Pengendalian nafsu
Dengan mengerti dan memahami sifat al-Malik dengan baik, seseorang dapat menguasai
hawa nafsunya. Godaan yang paling besar bagi manusia adalah godaan hawa nafsu.
Dalam sejarah, umat Islam pernah mengalami kekalahan perang, yaitu dalam perang
Uhud. Kekalahan tersebut terjadi karena sebagian dari pasukan umat Islam
tergoda dengan harta ghonimah atau harta rampasan perangs ehingga Allah Swt
mengurangi kekuatan mereka dan akhirnya mereka kalah di dalam perang. Saat itu
seandainya umat Islam tidak tergoda dengan harta rampasan perang yang ada dan
meyakini bahwa Allah Swt adalah Pemilik semuanya, niscaya pasukan umat Islam
akan menang.
c. Bersyukur terhadap nikmat Allah
Mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan kepada
manusia merupakan bentuk pengamalan dari penghayatan seseorang terhadap asma
Allah Swt al-Malik. Seseorang akan sadar bahwa pemilik
sebenarnya bagi segala sesuatu adalah Allah Swt. Oleh karena itu ketika
seseorang sudah berusaha dengan maksimal lalu ia memperoleh rezeki, maka ia
akan mensyukuri rezeki itu. Ia tidak akan mengumpat atau mencaci orang lain
karena ia sadar bahwa Allah Swt adalah pemilik sejatinya.
D. AL-HASIB
1. Pengertian
al-Hisab
Al-Hisab secara etimologi berasal dari kata hasiba dengan tiga huruf Arab ha, sin dan ba. Setidaknya terdapat empat kata dalam bahasa Arab, yaitu menghitung,
mencukupkan, bantal kecil dan penyakit yang menimpa kulit sehingga kulit
menjadi putih. Hanya saja makna ketiga dan keempat dari kata al-Hasib tidak mungkin dilekatkan kepada Allah
Swt. Dalam al Qur`an kata al-Hisab disebutkan empat kali. Tiga terkait dengan Allah Swt dan satu terkait
dengan manusia. Dua ayat yang terkait dengan Allah Swt dapat diartikan dengan
Dzat yang memberi kecukupan. Diantaranya terdapat dalam firman Allah Swt:
وَكَفَىٰ
بِٱللَّهِ حَسِيبٗا ٣٩
“Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan”(QS.
Al-Ahzab(33):39)
Imam al-Ghazali mengartikan al-Hisab dengan Dia yang mencukupi siapa saja
yang mengandalkan diriNya. Sifat ini hanya milik Allah karena tidak ada satu
makhlukpun di dunia ini yang dapat mencukupi kebutuhan orang lain. Menurut
al-Ghazali rezeki yang diberikan oleh Allah Swt kepada bayi sesungguhnya karena
al-Hisabnya
Allah Swt. Allahlah yang mencukupi
kebutuhan bayi dengan menciptakan ibu yang menyusui, air susunya dan instink
serta keinginan untuk menyusui.
Al-Hasib dapat diartikan juga dengan menghitung. Jika kata al-Hasib dikaitkan dengan makna menghitung, maka Allah adalah Dzat yang melakukan
perhitungan, baik menghitung amal baik dan buruk seorang manusia dengan cermat
dan teliti sehingga tidak ada yang terlepas sedikitpun. Terkadang kata al-Hasib juga dapat diartikan sebagai pemberi
perhitungan.
2. Meneladani
Allah dengan sifat al-Hasib
a. Tenang dan tentram bersam dengan Allah
Swt
Seseorang yang memaknai al-Hasib sebagai Dzat yang memberi kecukupan, maka ia akan nyaman dan tentram.
Ia tidak akan terganggu oleh bujuk rayu setan lalu menjadi sekutunya dan ia
tidak akan sedih saat harus kehilangan sesuatu, baik berupa materi atau
kesempatan karena ia yakin dirinya sudah merasa cukup dengan adanya Allah Swt.
Allah Swt berfirman:
وَقَالُواْ
حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ ١٧٣
“dan mereka menjawab:”cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan
Allah adalah Sebaik-baik pelindung”.(QS. Ali Imran (3):173)
b. Melakukan amal shalih semata-mata karena
Allah
Seseorang yang memaknai al-Hasib dengan makna perhitungan, maka ia akan meyakini sesungguhnya Allah Swt
akan menghitung amal shalih setiap manusia. Bagi yang meneladaninya, maka
terlebih dahulu ia akan sepenuhnya menyadari bahwa hanya Allah Swt yang
memberinya kecukupan dengan demikian segala yang ia lakukan ditujukan
semata-mata karena Allah Swt. Selain itu segala kehendak yang ia lakukan harus
sesuai dengan kehendaknya. Hal ini dilakukan karena ia yakin Allah Swt telah
mencukupkan kebutuhannya.
c. Melakukan introspeksi diri secara terus-menerus
Seandainya makna al-hasib diartikan sebagai Dzat yang memberi perhitungan, maka yang
meneladaninya sudah pasti akan senantiasa melakukan introspeksi diri. Hal
tersebut dilakukan karena ia menyadari sepenuhnya kelak Allah Swt akan
melakukan perhitungan terhadap dirinya ddengan amat cermat dan teliti. Selain
itu, dalam hal apapun yang diminta atas dasar kewajiban agama seperti
menunaikan zakat mal misalnya, maka ia akan segera menghitung hartanya dengan
cermat dan penuh ketelitian sehingga tidak ada yang keliru.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Al-Gaffaar berarti Allah Swt adalah Dzat yang Maha Pengampun dengan
menutupi keburukan manusia di dunia sehingga tidak diketahui oleh khalayak
ramai, dan memaafkannya kelak di akhirat. Melalui sifat al-gaffaar yang
sudah dipelajari, hendaklah kita memiliki sifat pemaaf, menampakkan kelebihan
orang lain dan melupakan keburukannya.
2. Ar-Razzaq berarti Allah Swt Dzat yang memberikan rezeki berulang
kali dengan berbagai variasi rezeki yang ada kepada makhluk-makhlukNya di
dunia. Bukan hanya itu, selain memberikan rezeki, Allah juga menciptakan sosok
yang menerima rezeki. Dari sifat ar-Razzaq seharusnya kita meyakini bahwa Allah
Swt telah memberikan rezeki kepada kita. Oleh karena itu kita harus senantiasa
bersemangat, sabar dan ikhlas serta qona`ah dalam mencari dan membelanjakan
rezeki yang telah diberikan oleh Allah Swt di jalan yang diridhoi. Selain itu
semakin sering mengantarkan rezeki kepada orang lain, maka semakin meneladani
sifat ar-Razzaq tersebut.
3. Al-Malik berarti Allah Swt Dzat yang memiliki atau menguasai segala
sesuatu. Dari sifat al-malik seharusnya kita disiplin dan memiliki target di
dalam menggapai prestasi dengan bekerja keras secara maksimal. Seandainya
target tersebut belum tercapai, maka kita tidak boleh putus asa karena
kemampuan manusia yang terbatas dan mengembalikannay kepada Allah Swt sebagai
pemilik hakiki. Seandainya memiliki harta melimpah, maka hendaklah seseorang
tidak dikendalikan oleh hawa nafsunya melainkan bersyukur terhadap nikmat yang
telah diberikan.
4. Al-Hasib berarti Allah Swt Dzat yang mencukupi. Sifat ini tidak
dapat disandang kecuali oleh Allah Swt sendiri, karena hanya Allah yang dapat
mencukupi. Dari sifat al-Hasib hendaknya seseorang harus merasa nyaman karena
rezekinya sudah dicukupi oleh Allah Swt dan dengan rezekinya itu ia beramal
shalih dan setelah itu melakukan intropeksi secara terus-menerus terhadapa apa
yang dilakukan.
B.
Saran
Penulis menyadari jika dalam tulisan ini masih banyak kekurangan. Karena
itu penulis berharap masukan dan saran yang membangun agar sempurnanya makalah
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar