NAMA : HAYATUN SAKINAH
MATA KULIAH : FIQIH II
DOSEN PEMBIMBING : NURLIANA, MA
Hak dan Kewajiban Suami Istri
dalam Rumah Tangga
Yang dimakssud dengan hak adalah
apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud
dengan kewajiban adalah apa yang harus dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu,
sedangkan Kewajiban adalah sesuatu yang harus dikerjakan.
Kewajiban suami adalah sesuatu
yang harus suami laksanakan dan penuhi untuk istrinya. Sedangkan kewajiaban
istri adalah sesuatu yang harus istri laksanakan dan lakukan untuk suaminya. Begitu
juga dengan pengertian hak suami adalah sesuatu yang harus diterima suami
dari isterinya. Sedangkan hak isteri adalah sesuatu yang harus diterima isteri
dari suaminya..
Dengan dilangsungkan akad nikah
antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang dilakukan oleh walinya,
terjalinlah hubungn suami isteri dan timbul hak dan kewajiban masing-masing
timbal-balik.
Hak suami merupakan kewajiban
istri, sebaliknya kewajiban suami merupakan hak istri. Dalam kaitan ini ada
enam hal:
1. Kewajiban
suami terhadap istrinya, yang merupakan hak istri dari suaminya.
2. Kewajiban
istri terhadap suaminya, yang merupakan hak suami dari istrinya.
3. Hak
bersama suami istri.
4. Kewajiban
bersama suami istri.
5. Hak
suami atas istri.
6. Hak
istri atas suami.
Jika suami istri sama-sama
menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman
dan ketenangan hati, sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup rumah tangga.
Dengan demikian, tujuan berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tujuan agama,
yaitu sakinah, mawaddah wa rahmah.
A.Kewajiban Suami terhadap Istri
a. Kewajiban yang bersifat materi yang disebut nafaqah.
b. Kewajiban yang tidak bersifat materi.
Kewajiban suami terhadap istri yang tidak bersifat materi
adalah:
1. Menggauli istrinya
secara baik dan patut. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’
ayat 19:
وعاشروهن
بالمعروف فإن كرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا
“Pergaulilah mereka
(istri-istrimu) secara baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka
(bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak"
2. Suami
wajib mewujudkan kehidupan pernikahan yang diharapkan Allah untuk terwujud,
yaitu sakinah, mawaddah wa rahmah. Untuk itu suami wajib memberikan
rasa tenang bagi istrinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
ar-Rum ayat 21:
“Di antara
tanda-tanda kebesaran Allah Ia menjadikan untukmu pasangan hidup supaya kamu menemukan
ketenangan padanya dan menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Yang
demikian merupakan tanda-tanda agi kaum yang berfikir."
3. Mendidik istri merupakan kewajiban suami, sebagaimana
tercantum dalam hadits Bukhariyang artinya :
“Nasihatilah
para wanita (istri) itu dengan baik. Sesungguhnya wanita itu tercipta dari
tulang rusuk yang bengkok. Bila engkau biarkan akan tetap bengkok, tapi jika
engkau luruskan akan patah. Maka nasihatilah wanita itu dengan baik.”(HR
Bukhari)
Dalam Kompilasi Hukum Islam,
kewajiban suami terhadap istri dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
Pasal
80
1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah
tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami istri bersama.
2. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan
member kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama,
dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
istri dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat
(4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna
dari istri.
6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap
dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila
istri nusyuz.
Pasal
81 (Tentang Tempat Kediaman)
1. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri
dan anak-anaknya, atau bekas istri yang masih dalam iddah.
2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk
istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah
wafat.
3. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan
anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram.
Tempat kediaman juga berfungsi sebagai harta kekayaan, sebagai tempat menata
dan mengatur alat-alat rumah tangga.
4. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai
dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat
tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penujang
lainnya.
B. Kewajiban Istri terhadap Suami
Dari istri tidak ada yang
berbentuk materi secara langsung, yang ada adalah kewajiban dalam bentuk non
materi. Yakni:
1. Menggauli
suami secara layak dengan kodratnya. Hal ini dapat dipahami dari ayat yang
menuntut suami menggauli istrinya dengan baik, karena perintah untuk menggauli
itu berlaku timbale balik.
2. Memberikan
rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya, dan memberikan rasa cinta dan
kasih sayang kepada suaminya dalam batas-batas kemampuannya.
3. Taat
dan patuh kepada suami, selama suaminya tidak menyuruh untuk melakukan
perbuatan maksiat. Hal ini dapat dilihat dari isyarat firman Allah dalam surat
an-Nisa’ ayat 34:
”Perempuan-perempuan
yang sholihah dalah perempuan yang taat kepada Allah (dan patuh kepada suami)
memelihara diri ketika suami tidak ada oleh karena Allah telah memelihara
mereka."
4. Menjauhkan
dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak disenangi oleh suaminya.
5. Menjauhkan
dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak
enak didengar.
6. Pandai
mengambil hati suami melalui makanan dan minuman.
7. Mengatur
rumah tangga dengan baik.
8. Menghormati
keluarga suami.
9. Bersikap
sopan, penuh senyum kepada suami.
10.
Tidak mempersulit suami, dan
selalu mendorong suami untuk maju.
11.
Ridha dan syukur terhadap apa
uyang diberikan suami.
12.
Selalu berhias, bersolek untuk
suami.
13.
Selalu berhemat dan suka
menabung.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban istri terhadap suami
dijelaskan sebagai berikut:
Pasal
83 (Kewajiban Istri)
1.
Kewajiban utama bagi seorang
istri adalah berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang
dibenarkan oleh hukum Islam.
2.
Istri menyelenggarakan dan
mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal
84
1. Istri
dapat dianggap nusyuz jika tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 83 ayat (1), kecuali
alasan yang sah.
2. Selama
istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istri yang disebut
pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk
kepentingan anaknya.
3. Kewajiban
suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.
C. Hak Bersama Suami Istri
Yang dimaksud dengan hak bersama
suami istri ini adalah hak bersama secara timbal balik dari pasangan suami
istri terhadap yang lain. Adapun hak bersama itu adalah:
1. Timbulnya
hubungan suami dengan keluarga istrinya dan baliknya hubungan istri dengan
keluarga suaminya, yang disebut hubungan mushaharah.
2. Suami
istri dihalalkan saling bergaul mengadakan hubungan seksual. Perbuatan ini
merupakan kebutuhan bersama suami istri yang dihalalkan secara timbal balik.
3. Haram
melakukan perkawinan, yaitu istri haram dinikahi oleh ayah suaminya, kakaknya,
anaknya dan cucu-cucunya. Begitu pula ibu istri, anak perempuan, dan seluruh
cucunya haram dinikahi oleh suami.
4. Hak
saling mendapat warisan akibat dari ikatan pernikahan yang sah, bila mana salah
seorang meninggal dunia sesudah sempurnanya ikatan pernikahan, pihak yang lain
dapat mewarisihartanya, meskipun belum pernah melakukan hubungan seksual.
5. Keduanya
wajib berperilaku yang baik, sehingga dapat melahirkan kemesraan dan kedamaian
hidup.
D. Kewajiban Bersama Suami Istri
1. Memelihara
dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut.
2. Memelihara
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
Hak dan kewajiban suami istri
diatur secara tuntas dalan UU perkawinan dalam satu bab VI yang materinya
secara esensial telah sejalan dengan apa yang digariskan dalam kitab-kitab fiqh
yang bunyinya sebagai berikut:
Pasal
30
Suami istri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendiri dasar dari
susunan masyarakat.
Pasal
31
1.
Hak dan kedudukan istri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat.
2.
Masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.
3.
Suami adalah kepala keluarga dan
istri adalah ibu rumah tangga.
Pasal
32
1. Suami
harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2. Rumah
kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri
bersama.
Pasal
33
1. Suami
istri wajib saling mencintai, hormat dan menghormati, setia, dan member bantuan
lahir batin satu sam lain.
Pasal
34
1. Suami
wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam,
kewajiban suami istri dijelaskan secara rinci sebgai berikut:
Pasal
77
1.
Suami istri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah,mawaddah
wa rahmah dan menjadi sendi dasar sari susunan masyarakat.
2.
Suami istri wajib saling cinta
mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu
kepada yang lain.
3.
Suami istri memikul kewajiban
untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan
jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
4.
Suami istri wajib memelihara
kehormatannya.
5.
Jika suami atau istri melalaika
kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Pasal
78
1.
Suami istri harus mempunyai
tempat kediaman yang tetap.
2.
Rumah kediaman yang dimaksud
dalam ayat (1) ditentukan oleh suami istri bersama.
E. Hak Suami Atas Istri
1.
Ditaati dalam hal-hal yang tidak
maksiat.
2.
Istri menjaga dirinya sendiri dan
harta suami.
3.
Menjauhkan diri dari mencampuri
sesuatu yang dapat menyusahkan suami.
4.
Tidak bermuka masam di hadapan
suami.
5.
Tidak menunjukkan keadaan yang
tidak disenagi suami.[12]
F. Hak Istri Atas Suami
Hak-hak isteri yang menjadi
kewajiban suami dapat dibagi dua: hak-hak kebendaan, yaitu mahar (maskawin) dan
nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan, misalnya berbuat adil di antara para
isteri (dalam perkawinan poligami), tidak berbuat yang merugikan isteri dan
sebagainya.
1. Hak-hak Kebendaan
a. Mahar (Maskawin)
Q.S. An-Nisa ayat 24 memerintahkan, “Dan berikanlah maskawin
kepada perempuan-perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib. Apabila
mereka dengan senang hati memberikan sebagian maskawin itu kepadamu, ambillah
dia sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.”
Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat diperoleh suatu pengertian
bahwa maskawin itu adlah harta pemberian wajib dari suami kepada isteri, dan
merupakan hak penuh bagi isteri yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami
hanya dibenarkan ikut makan maskawin apabila diberikan oleh isteri dengan sukarela.
Q.S. An-Nisa: 24 mengajarkan, “…. Isteri-isteri yang telah kamu
campuri, berikanlah kepada mereka mahar sempurna, sebagai suatu kewajiban, dan
tidak ada halangan kamu perlakukan mahar itu sesuai dengan kerelaanmu (suami
isteri), setelah ditentukan ujudnya dan kadarnya….”
Dari ayat tersebut diperoleh ketentuan bahwa isteri berhak atas
mahar penuh apabila telah dicampuri. Mahar merupakan suatu kewajiban atas
suami, dan isteri harus tahu berapa besar dan apa ujud mahar yang menjadi
haknya itu. Setelah itu, dibolehkan terjadi persetujuan lain tentang mahar yang
menjadi hak isteri itu, misalnya isteri merelakan haknya atas mahar, mengurangi
jumlah, mengubah ujud atau bahkan membebaskannya.
Hadits Nabi riwayat Ahmad, Hakim, dan Baihqi dari Aisyah
mengjarkan, “Perempuan-perempuan yang paling besar mendatangkan berkah Allah
untuk suaminya adalah yang paling ringan biayanya.” Yang diamksud dengan ringan
biayanya ialah yang tidak memberatkan suami, sejak dari mahar sampai
kepada nafkah, pakaian, dan perumahan dalam hidup perkawinan.
Hadits riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, dan Nasai
dari Sahl Bin Sa’ad menyatakan bahwa Nabi pernah mengawinkan salah seorang
sahabatnya dengan maskawin mengajar membaca Al-Qur’an yang dihafalnya (menurut
salah satu riwayat, yang dihafalnya itu adalah Surah Al-Baqarah dan Ali Imran).
Hadits riwayat Bukhari-Muslim, dan lain-lain dari Anas
menyatakan bahwa Nabi pernah memerdekakan Sofiah yang kemudian menjadi isteri
beliau, dan yang menjadi maskawinnya adalah memerdekakannya itu.
b. Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah mencukupkan segala keperluan
isteri,meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan
pengobatan, meskipun isteri tergolong kaya.
Q.S. Ath-Thalaq : 6 mengajarkan, “Tempatkanlah isteri-isteri
dimana kamu tinggal menurut kemampuanmu; janganlah kamu menyusahkan
isteri-isteri untuk menyempitkan hati mereka. Apabila isteri-isteri yang kamu
talak itu dalam keadaan hamil, berikanlah nafkah kepada mereka hingga bersalin
… “ Ayat berikutnya (Ath-Thalaq :7) memrintahkan, “ Orang yang mampu hendaklah
memberi nafkah menurut kemampuannya, dan dan orang yng kurang mampu pun supaya
memberi nafkah dari harta pemberian Allah kepadanya; Allah tidak akan membebani
kewajiban kepada seseorang melebihi pemberian Allah kepadanya ….”
Hadits riwayat Muslim menyenutkan isi khotbah Nabi dalam haji
wada’. Antara lain sebagai berikut, “….. Takuttlah kepada Allah dalam
menunaikan kewajiban terhadap isteri-isteri; itu tidak menerima tamu orang yang
tidak engkau senangi; kalau mereka melakukannya, boleh kamu beri pelajaran
dengan pukulan-pukulan kecil yang tidak melukai; kamu berkewajiban mencukupkan
kebutuhan isteri mengenai makanan dan pakaian dengan makruf.”
2. Hak-hak Bukan Kebendaan
Hak-hak bukan kebendaan
yang wajib ditunaikan suami terhadap isterinya, disimpulkan dalam perintah Q.S.
An-Nisa: 19 agar para suami menggauli isteri-isterinya dengan makruf dan
bersabar terhadap hal-hal yang tidak disenangi, yang terdapat pada isteri.
Menggauli isteri dengan makruf
dapat mencakup:
a. Sikap menghargai, menghormati, dan
perlakuan-perlakuan yang baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam
bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Hadits riwayat Turmudzi dan Ibnu Hibban
dari Abu Hurairah r.a. mengajarkan, “Orang-orang mukmin yang paling baik budi
perangainya, dan orang-orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling
baik perlakuannya terhadap isteri-isterinya.”
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a.
mengajarkan, “Bersikap baiklah kamu terhadap isteri-isterimu sebab orang
perempuan diciptakan berkodrat seperti tulang rusuk; yang paling lengkung
adalah tulang rusuk bagian atas; apabila kamu biarkan akan tetap meluruskannya,
ia akan patah dan apabila kamu biarkan akan tetap lengkung, bersikap baiklah
kamu terhadap para isteri.
Termasuk perlakuan baik yang menjadi hak isteri ialah, hendaknya
suami selalu berusaha agar isteri mengalami peningkatan hidup keagamaannya,
budi pekertinya, dan bertambah pula ilmu pengtahuannya. Banyak jalan yang dapat
ditempuh untuk memenuhi hak isteri, misalnya melaui pengajian-pengajian,
kursus-kursus, kegiatan kemasyarakatan, bacaan buku, majalah, dan
sebagainya.
b. Melindungi dan menjaga nama baik isteri
Suami berkewajiban melindungi isteri serta menjaga nama baiknya.
Hal ini tidak berarti bahwa suami harus menutup-nutupi kesalahan yang memang
terdapat pada isteri. Namun, adalah menjadi kewajiban suami untuk tidak membeberkan
kesalahan-kesalahan isteri kepada orang lain. Apabila kepada isteri hal-hal
yang tidak benar, suami setelah melakukan penelitian seperlunya, tidak apriori,
berkewajiban memberikan keterangan-keterangan kepada pihak-pihak yang
melontarkan tuduhan agar nama baik isteri jangan menjadi cemar.
c. Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis isteri
Hajat biologis adalah kodrat pembawaan hidup. Oleh karena itu,
suami wajib memperhatikan hak isteri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian
hidup perkawinan anatara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini.
Kekecewaan yang dialami dalam masalah ini dapat menimbulkan keretakan dalam
hidup perkawinan; bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan isteri disebabkan
adanya perasaan kecewa dalam hal ini.
Salah seorang sahabat Nabi
bernama Abdullah bin Amr yang terlalu banyak menggunakan waktunya untuk
menunaikan ibadah; siang untuk melakukan puasa dan malam harinya untuk
melakukan shalat, diperingatkan oleh Nabi yang antara lain. “Isterimu mempunyai
hak yang wajib kau penuhi.
Demikian pentingnya kedudukan
kebutuhan biologis itu dalam hidup manusia sehingga Islam menilai
hubungan suami isteri yang antara lain untuk menjaga kesucian diri dari
perbuatan zina itu sebagai salah satu macam ibadah yang berpahala. Dalam hal
ini hadits Nabi riwayat Muslim mengajarkan, “Dan dalam hubungan kelaminmu
bernilai shadaqah.” Mendengar kata Nabi itu para sahabat bertanya, “ Ya
Rasulullah, apakah salah seorang di antara kita memenuhi syahwatnya itu
memperoleh pahala?” Nabi menjawab, “Bukkankah apabila ia melakukannya dengan
yang haram akan berdosa? Demikian sebaliknya, apabila ia memenuhinya dengan
cara yang halal akan mendapat pahala.”
[1]Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN
ISLAM DI INDONESIA Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 159
[2]Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN
ISLAM DI INDONESIA Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 159-160
[4]Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN
ISLAM DI INDONESIA Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 160-161
[6]Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN
ISLAM DI INDONESIA Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 162-163
[7]Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN
ISLAM DI INDONESIA Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 162-163
[9]Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN
ISLAM DI INDONESIA Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 163
[11]Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN
ISLAM DI INDONESIA Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 163-165
Tidak ada komentar:
Posting Komentar